Lalu aku berdiri, meraih telapak tangan yang ditawarkan oleh Torvas untuk membantuku, lalu menyusuri gurun menuju pemukiman, sembari mengayun-ayunkan lengannya di genggamanku. Torvas seusia Drew, kakak kandungku yang bekerja menjadi mata-mata pemerintahan. Karena kakakku lebih sering berada di luar daripada di sampingku, maka gelar kakak itu berpindah ke Torvas.

Pemukiman tidak sepanas gurun di waktu pagi, sesuatu yang sedikit magis membayangi langit pemukiman kami sehingga tempat itu layak huni. Biasanya, sepulang dari bar, aku hanya akan beristirahat sebentar, membersihkan diri, dan mulai berjalan ke hulu, mengejar hutan di sisi selatan. Aku baru melakukan rutinitas semacam itu belakangan setelah Arthur menjadi lebih sering tak terkendali.

Torvas hanya mengantarku sampai di depan pintu, sebab dia sendiri harus pergi ke daerah pertambangan dan bekerja seharian. Menjadi dewasa itu sibuk, tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal seperti mengobrol dengan teman sebaya dan sebagainya. Barangkali, hanya Arthur saja pemuda yang tidak punya kesibukan di desa.

Sepeninggalnya Torvas, aku berbalik, barulah kusadari saat itu daun pintu rumahku agak terbuka. Menyadari hal itu, aku segera merogoh kantong celanaku dan menemukan kunci rumahku masih ada di sana, tidak berubah sejak terakhir kali aku menyimpannya. Apa iya, aku lupa mengunci pintu kemarin sore?

Tanpa prasangka, aku masuk ke ruangan, dan menyadari kursi rotan tempat kakakku biasa duduk meminum kopinya di sore hari, melayang di udara, menyasarku. Secepat mungkin aku berusaha menghindar, tetapi lenganku tetap bersinggungan dengan salah satu kaki kursi itu. Rasa sakit menjalar seketika.

"Bermesraan dengan Torvas, lagi?" Arthur-lah yang ada di balik semua kekacauan itu. Dia bergerak maju, sementara aku meraih gagang pintu, tetapi ia lebih tangkas dariku. Dengan satu tangan ia menyingkirkanku dari daun pintu, melemparku jauh ke dalam ruangan. "Perempuan jalang!" satu tamparan menyasar pipi kiriku. Mengejutkan, sewaktu Arthur sepertinya tetap memikirkan untuk menyerangku di bagian yang belum ia jadikan sasaran emosi.

Aku tahu, jika aku tak berhasil tegas pada diriku sendiri, semua ini akan menjadi takdirku yang abadi, pahit, dan penuh penderitaan. Setiap hari aku kekurangan tidur, berusaha menghindari Arthur sesering mungkin, tetapi tetap saja, jika aku hanya berlari sembari tetap menggenggam tali kekangnya, aku takkan pernah bisa lepas dari Arthur. Maka sebelum aku tenggelam terlalu jauh, atau menjadi lebih candu daripada sekarang, satu-satunya hal yang perlu kulakukan adalah membebaskan diriku sendiri.

"Kau tahu?" Tangan Arthur terhenti di udara. "Aku berharap hatiku terbuat dari batu, kebal dari segala rasa sakit yang kau berikan, bahkan jika kau tembakkan peluru ke kepalaku. Dengan bodohnya aku berharap bahwa mungkin aku bisa melawan semua itu sendirian. Aku sungguh-sungguh ingin menjadi sekuat itu untuk bisa menghadapimu."

Aku tidak berhenti untuk menangis, tetapi seluruh jemariku bergetar hebat tanpa bisa kukendalikan. Arthur seperti tersadar dari kerasukan, berjongkok di hadapanku, berusaha meraih tubuhku, sayangnya aku jauh lebih tangkas daripada beberapa detik yang lalu. Jika saja aku sekuat itu, aku ingin bertahan mati-matian, mencintainya sampai akhir. "Kenyataannya aku cuma perempuan yang kau sebut gila, rapuh dan dengan mudahnya bisa kau hancurkan hanya dengan semua ucapan dan perbuatanmu ini. Jadi, aku akan berhenti sekarang. Aku akan mengakhirinya sekarang."

"Tidak," sahutnya, sedemikian cepat. "Gaia, maafkan aku. Aku gagal mengendalikan diri lagi."

"Sudah kumaafkan. Sekarang, kau harus keluar dari rumahku, dan dari kehidupanku."

Aku hancur menjadi serpih, betapa sakitnya mencintai laki-laki egois yang gila. Seperti duka yang manis, racun yang mengantarkanku pelan-pelan pada kematian. Anehnya, aku menikmati semua rasa sakit itu kendati begitu tak tertangguhkan. Seperti terjebak di suatu pagi dalam keadaan mabuk, seperti tenggelam dalam penderitaan tanpa akhir. Maka sebelum aku benar-benar menyerahkan nyawaku pada kenikmatan rasa sakit itu, aku memutuskan untuk berhenti mencintainya, memastikan untuk tidak pernah mencintai siapa pun lagi.

Kuraih gagang pintu yang sebelumnya terasa sedemikian jauh, terseok-seok mengejar Torvas di ujung jalan, bahkan jika aku harus terkubur di bawah tanah karena ikut Torvas menambang hari itu, aku tidak akan pernah menyesal. Aku sudah melalui semuanya, mengorbankan semua hal yang kupunya untuknya, untuk Arthur, sehingga yang tersisa dari diriku hanyalah serpihan yang tidak lagi berarti. Kenyataannya, hatiku tidak terbuat dari batu, tidak mampu ditempa lebih keras daripada ini. Bukannya lebur menjadi bentuk yang lebih berharga, aku malah lebur menjadi sesuatu yang tidak lagi berarti.

Dia adalah pangeran kejam yang menjadikan hatiku tumbal untuk dirinya sendiri, sementara aku hanyalah seekor merpati yang menangis kehilangan seluruh hidupnya.

***

Sumpah emang gak jelas banget, maaf gais:')
Sekarang aku mulai berpikir, mungkin ini saatnya aku berenti nulis?

ANTHEMWhere stories live. Discover now