Losing Game

82 13 11
                                    


"I got addicted to a losing game"
-Arcade, Duncan Laurence

___

Aku melihat gadis itu tersungkur, sepasang kaki tangguhnya yang mungil tersandung satu sama lain, sementara ledakan demi ledakan terus terjadi di dalam lorong sempit itu, sengaja mengincar nyawanya. Satu kakinya terbakar, ia lekas beringsut, menarik diri dan terpincang-pincang kembali. Aku tak melihat sebersit pun rasa takut dalam sorot matanya, dia teguh, meski di pelipisnya darah bercucuran.

Aku duduk gemetar mengawasi permainan itu. Monitor terus menyorotnya, tak peduli aku bersedia menyaksikan itu atau tidak. Logan berdiri di sebelahku, bertepuk tangan. Tawanya nyaring, membuat dadaku terasa penuh dan serasa ingin meledak. Bagian mana yang dianggap lucu oleh semua orang di ruangan ini?

Seluruh organ tubuhku menggeliat, setengah mati ingin memberontak dan menghentikan semuanya. Namun, jika kubiarkan perasaanku mendominasi semua ini, aku yang akan kehilangan segalanya.

Sebagian dari diriku menginginkan kematian gadis itu, karena itulah yang akan membuatku memenangkan seluruh pertandingan ini. Karena jika dia tetap hidup, aku tahu, aku takkan pernah sanggup melawannya langsung. Namun, sisi jiwaku yang lain ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Seperti terakhir kali aku melihatnya, di ruangan itu.

"Ada apa, Troy?" Logan menangkap tanganku yang hendak mematikan monitor. "Pertunjukannya sedang seru!"

Seru, matamu! Aku bangkit dengan kasar dari kursi, meraih botol bir di dekat komputer yang masih menayangkan gadis yang tengah menaklukkan kobaran api di sekelilingnya dengan terus berlari. Mata birunya membara dalam nyala penuh tekad. Aku menciut, menenggak bir dengan keputusasaan.

"Gadis itu benar-benar menakutkan, Troy, kau sebaiknya menyerah saja." Suara Mark menyadarkanku. Daripada menikmati pertunjukan seperti Logan, Mark sepertinya lebih tertarik menyaksikan dinamika keadaan psikisku yang perlahan-lahan menjadi sedemikian kacau.

Dia berpikir aku takut dikalahkan oleh gadis itu? Sungguh Mark salah paham. Aku tidak pernah takut akan hal itu, aku bahkan bisa membunuhnya dalam sekali gerakan. Namun, bagaimana aku sanggup melakukan itu? Itulah mengapa perasaan tidak pernah diizinkan terlibat dalam peperangan.

Mencintai gadis itu adalah kekalahan telak bagiku. Tidak perlu berhadapan langsung dengannya, aku sudah remuk berkeping-keping. Sedemikian patah dan kehilangan arah. Kerusakan yang tak terhindarkan, tak terbantahkan.

Dan entah sejak kapan, aku menjadi candu pada kekalahan itu. Terjebak pada keinginan untuk benar-benar menyerah dan kalah dalam setiap pertempuran, hanya untuk mempertahankan perasaan lemah yang disebut cinta oleh manusia. Gadis itu kuat, bahkan dalam peran rapuh yang dimainkannya.

Dia bergerak di ujung lorong, menabrak dinding pembatas, menggelepar karena mungkin tidak pernah membayangkan akan adanya dinding pembatas itu, kobaran api di belakangnya redup, semua serangan kontan terhenti, dinding pembatas terbuka perlahan, sehingga tubuhnya yang tersandar di dinding itu terlempar menuju cahaya. Permainan selesai, matanya terpejam, lebam di sekujur wajah, tetapi bibirnya menyeringai penuh kemenangan. Ia menaklukkan kematian, lagi.

***

Sepasang mata birunya memandang ke arahku langsung, seakan dengan gamblang menyatakan pertanyaan, 'Kau mencintaiku atau tidak?' dengan raut wajah yang sedemikian datar, terkesan angkuh. Bahkan dengan semua luka itu, dia tetap cantik. Bahkan dengan semua tantangan itu, dia tetap tangguh.

"Tidakkah kau ingin menangis?" tanyaku, berusaha menonjolkan arogansi. Ketahuilah, aku tidak pernah berharap berhadapan langsung dengannya untuk menentukan siapa yang akan memenangkan semua permainan berisiko ini. Namun, hidup mengajarkanmu bahwa kau harus berhasil menghadapi kelemahanmu dan menaklukkannya.

"Hanya kematian Danish yang bisa membuatku menangis." Aku merasakan getar dalam suaranya saat mengucapkan nama itu. Nama yang menjadi alasan gadis ini mempertaruhkan segalanya. Saudara kembarnya yang kubantai dalam permainan sebelumnya.

Jika kau beranggapan cintaku berbalas, sudah jelas bahwa kau salah besar. Gadis ini, Archana Stellar, menyimpan dendam sedemikian keramat terhadapku. Setiap kemarahannya, setiap sarkasmenya, sampai dengan sangat tepat ke jantungku. Namun, kemarahan itulah yang membuatku semakin jatuh hati padanya. Dia seperti bintang yang membara, bersinar dalam kobaran api yang menawan, menerangi langitku yang suram.

"Kau pembunuhnya, bukan?" Sorot matanya menelanku hidup-hidup, menjebakku dalam perangkap semu di balik manik biru kelamnya.

Aku bangkit dari kursiku. Bahkan gadis itu tidak menungguku di arena untuk mengakhiri segalanya. Dengan santai melenggang ke ruanganku-entah berapa orang yang sudah dilawannya untuk sampai di tempatku, sepertinya itu sama sekali bukan hal yang sulit baginya.

Aku melihatnya menarik napas berulang-ulang dengan sangat cepat sembari aku merampas pistol yang terkapar di meja kerjaku sebelumnya. Aku tahu dia tidak pernah memperkirakan itu. Apakah dia tahu, bahwa dia sedang masuk ke dalam sarang penyamun? Apakah dia tahu, bahwa dia sedang menghadapi kepala gangster yang siap meledakkan kepalanya kapan saja?

Begitu aku berada persis di depannya, ia memiringkan kepala, memandangku dengan ekspresi congkak, seperti biasanya. "Mau membunuhku dengan cara pengecut?" katanya. Seperti alunan nada kematian. Aku tertawa hambar.

Memunguti hatiku yang patah, dalam imajinasiku, aku sedang berusaha memperbaiki semuanya, semua kesalahan yang kulakukan, berusaha menemukan bagian-bagian yang hilang. Rasanya keheningan berdengung di kepalaku, asing, rasanya yang menghuni jiwa bukanlah aku. Aku kalah.

Gadis itu adalah mawar yang kehilangan ronanya, memucat, hambar. Aku ingin berlutut dan memohon pada Tuhan agar mengeluarkan aku selamanya dari permainan yang kubuat sendiri, keluarkan aku dari permainan bodoh ini. Karena jika aku meneruskannya, aku akan kehilangan diriku sendiri.

"I don't need your games, game over. Just get me off this rollercoaster."

Ia tetap memandangku tanpa ekspresi. Benar-benar tidak ada rasa takut, sehingga ia semakin menghancurkan keberadaanku. Bahkan setelah kutodongkan moncong pistol ke dahinya, ia tetap bergeming, matanya lekat memandangku seakan kembali mempertanyakan, 'kau mencintaiku atau tidak?' dan membuatku kehilangan kemampuan berpikir.

Kubanting pistol itu seketika, menghantam dinding jauh di belakang Archana, mengangkat lenganku dan menatap lurus ke matanya. Aku melihatnya mengangkat sebelah bibir, menyeringai.

"Kau tidak perlu mengasihaniku." Bahkan suaranya yang serak itu terdengar kejam dan tanpa ada rasa terima kasih.

Ia bergerak mundur, meraih pistol yang sebelumnya kulemparkan untuk menjaga kewarasan. Aku memujanya, sedemikian memujanya. Mencintainya, sedemikian candu dan memabukkan. Aku bahkan tidak mampu bergerak untuk mencegahnya.

Satu letupan singkat, sesuatu membakar dadaku, sebuah proyektil peluru menembus kulit, membuat sensasi terbakar, lalu aku tahu persis aku membeku sejenak karena terkejut, untuk kemudian terkapar. Aku melihatnya membanting benda itu tanpa berniat menghampiriku, melenggang keluar dari ruangan dan membanting pintu dengan kasar.

Mencintainya adalah kekalahan telak bagiku.

***

ANTHEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang