21 - Kotak merah muda

410 345 366
                                    

"Kecepetan, Man," ucap Jordan sambil meneguk teh tawar panas.

"I Know. Tapi apa bedanya kemarin sama lusa? Apa bedanya sekarang sama besok?"

"Icil itu manusia yang selalu butuh waktu yang lama. Lo salah kalau terlalu terburu-buru."

Mendengar itu, Bumi tertengun, selayaknya mobil yang mengerem mendadak karena ada orang yang tiba-tiba melintas entah darimana datangnya.

Jordan menepuk bahunya. "But it's fine...  Seenggaknya lo jujur. Cuma lo musti siap dengan segala bentuk dari reaksi Icil nanti."

"Dia bakal marah, Dan?"

"Mungkin reaksinya bakal marah. Tapi nggak tau juga. Ya udah, gue pulang dulu. Good luck, Man," kata Jordan yang kemudian beranjak.

Suasana hati Bumi berubah tidak tenang mendadak ia ingin sekali mendengar kabar Icil setelah mendapat paket darinya kemarin. Ia terus memikirkan keputusannya yang ternyata berujung pada sebuah kesalahan fatal. Ia takut Icil menjauh, ia takut ia semakin jauh dari dunia Icil yang sangat ingin ia kunjungi sejak pertama kali bertemu dengannya.

"Lo nggak pulang?"

Bumi menoleh, mengarah ke sumber suara, dan alangkah terkejutnya. Ia menemukan seorang gadis yang sedari tadi ia terus pikirkan.

"Icil?"

"Kenapa belum pulang?" tanya Icil.

"Karena aku lagi nungguin kamu."

"Buat apa?"

"Ya... aku mau ngajakin kamu pulang bareng. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya. Tapi lainkali nggak usah kasih gue kostum konyol lagi."

Bumi langsung tersenyum. "Hmm... kalau itu nggak janji, Icil."

"Bumi!"

"Ehehehe. Sudah dicoba belum?"

"Apanya?"

"Kostum Belle-nya."

"Gue kasih anaknya Bi Surti."

"Demi apa, Icil?" wajah Bumi berubah shock.

Icil tertawa sambil berjalan pergi meninggalkan Bumi yang masih kaget campur tidak terima karena hadiahnya diberikan kepada orang lain.

"Icil? Icil!"

****
Bumi mengantar Icil pulang, motornya berhenti tepat di depan rumah gadis itu. Icil turun dari motor Bumi. "Makasih."

"Waahh, Icil bilang makasih, berarti kamu nggak marah lagi kan, sama aku? Kamu udah maafin aku, kan? Iya, kan?" tanya Bumi heboh sendiri.

"Iya."

Bumi bersorak senang tanpa henti. Tak sadar Icil memperhatikannya dengan sangat dekat. Bahkan, ia sempat ikut tersenyum melihat kegembiraan Bumi yang sedikit berlebihan.

"Nggak mau pulang?" tanya Icil menghentikan kegembiraan Bumi.

Bumi tersenyum ke arah Icil. "Kok, aku diusir sih, Icil?"

"Ini udah sore banget."

"Kamu khawatir yaa?"

"Hah? Bukan itu maksud gue."

"Maksudnya itu aja dong, Icil... Sekali-kali bikin aku geer sedikit kenapa."

Icil menahan tawa. "Pokoknya lo harus pulang."

"Besok aku ke sini lagi ya?"

"Mau ngapain?"

"Mau menggunakan kesempatan dengan baik."

"Alasannya selalu ada aja."

"Makanya cepat jadikan aku temanmu, langsung jadi pacar juga gapapa."

"Bumi... Jangan mulai buat gue kesel, plis."

"Icil, kamu beneran udah baca surat yang kemarin belum sih?"

"Yang ada di bungkusan paket dari lo?'

"Iya, udah di baca belum?"

"Udah."

"Terus?"

"Terus apanya?"

"Ya, aku menyukaimu, Icil."

Icil menelan ludah. "Ya, terus gue harus gimana?"

"Yaaa, kamu harus siap-siap."

"Untuk apa?"

"Untuk aku cintai, soalnya aku sudah menyukai kamu dan setelah itu pasti prosesnya berubah jadi mencintai kamu. Walaupun sebenarnya aku sudah siap, sih, kalau harus jatuh cinta dengan kamu. Kamunya juga harus siap dicintai sama orang yang kamu benci setengah mati."

"Bumi..." cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya, cuma itu kalimat yang bisa menutupi kegugupannya karena mendengar ucapan Bumi barusan.

"Iya, deh, aku pulang."

Bumi berjalan keluar, menuju motornya. Namun, ketika ia baru saja mengambil helm, ia mengembalikan helm nya lagi dan menggantungkannya di kaca spion sebelah kiri.

"Eh, iya, Icil," ucap Bumi seperti kelupaan sesuatu.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

"Enggak, aku cuma lupa bilang."

"Bilang apa? Perasaan lo udah kebanyakan ngomong."

Ia meraih tangan Icil. "Buka tangan kamu," suruh Bumi.

"Buat?"

"Buka sebentar aja."

"Nggak mau," tolak Icil cepat.

"Kenapa nggak mau? Aku mau ngasih sesuatu buat kamu."

"Apa?"

"Makanya, buka dulu tangan kamu."

Icil mengangguk pasrah, ia membuka tangannya. Icil hanya ingin secepatnya pergi dari hadapan pria gila ini.

Bumi tersenyum senang, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, kemudian menaruhnya di atas telapak tangan Icil yang terbuka. "Buat kamu?"

Icil melihat benda yang diberikan oleh Bumi. Sebuah kotak merah muda berukuran kecil. Icil mengernyitkan keningnya, menatap Bumi bingung. "Apa ini?"

"Buka aja." suruh Bumi.

Perlahan Icil pun membuka tutupnya, hingga akhirnya hadiah istimewa yang diberikan oleh Bumi terlihat jelas dikedua mata Icil.

Icil terdiam lama, dibuat bingung untuk kedua kalinya dengan hadiah yang saat ini sedang dilihatnya.

"Ini beneran buat gue?" tanya Icil. Ia masih menatap terus hadiah di hadapannya dengan tak mengerti.

"Iya." jawab Bumi. "Gimana suka nggak?" tanya Bumi tersenyum kecil.

"Su-suka. Tapi in..."

Icil tak bisa meneruskan ucapannya. Ia menghela napas pelan. Di dalam kotak tersebut terdapat gelang Adjustable Multilayer Motif Kupu-kupu. Icil sangat tau dan mengenal gelang ini, tapi ia tidak paham kenapa Bumi memberikan gelang ini kepadanya?

Perlahan tangan Icil digenggam oleh Bumi, mau tak mau Icil pun langsung menatap Bumi. Cowok itu tersenyum hangat kepadanya.

"Gelang itu buat kamu, kamu simpan baik-baik, ya. Jangan dihilangin." 

Icil menganggukkan kepalanya. "Udah?"

"Udah, kok, Icil. Aku cuma mau ngasih itu aja."

"Gue masuk."

Senyum Bumi sirna dalam hitungan detik berganti dengan bibir yang maju beberapa senti. Bumi mendecak pelan. Ia pun mengangguk pasrah, mengiyakan saja.

Icil pun berjalan pergi meninggalkan Bumi, ia memasukkan gelang motif kupu-kupu tersebut kembali ke dalam kotak.

Bumi masih setia berdiri di depan pagar, melihat Icil yang makin menjauh. "Bilang 'makasih' kek. Atau setidaknya dipakai gitu gelangnya. Tapi sudahlah yang penting gelangnya diterima, kan? Itu udah lebih dari cukup."

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang