Evanescent - Bagian : 19

684 117 23
                                    

Sunyi kembali menghantui Lalisa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sunyi kembali menghantui Lalisa. Sungguh, ia sangat membenci suasana seperti ini. Ia benci melihat seseorang yang sangat ia sayangi terbaring lemah di atas brankar itu. Ia mendekat, duduk di atas kursi yang berada tepat di samping kiri brankar. Lagi, ia duduk seperti ini lagi setelah beberapa hari berlalu. Mengapa gadis yang tengah tertidur ini suka sekali membuatnya harus menatap sepi di dalam ruang rawat? Ia jengah.

Ia ingin gadis itu segera sembuh agar tubuhnya tak lagi merasakan sakit. Ia ingin gadis itu dapat bersamanya sampai nanti. Sampai mereka dapat menua bersama. Melihat anak cucu mereka yang tengah bermain. Harapannya begitu besar. Namun, kemungkinannya terlalu kecil.

"Chaeng," panggilnya lirih.

"Jangan menyerah, ya? Aku mohon ... aku ingin kau berjuang sedikit lagi, Chaeng, kau pasti bisa sembuh. Kau sudah berjanji tidak akan meninggalkan aku, bukan? Ayo tepati janjimu, Chaeng."

Katakanlah ia egois. Ya, memang dia egois. Dia hanya ingin Chaeyoung tetap berada di sisinya. Dia hanya ingin Chaeyoung tidak menyerah secepat ini. Dia tidak ingin kehilangan untuk kesekian kalinya. Tidak. Jangan buat ia kehilangan Chaeyoung, lagi.

"Kau dengar lagu yang aku buat kan, Chaeng? Dan kau juga tahu kalau lagu itu aku buatkan untukmu. Harapanku, kau sembuh, Chaeng, kau selalu ada di sini, di sampingku. Kau itu terlalu berarti untukku, untuk semua orang. Jadi, tolong ... tolong jangan pergi," ujar Lalisa yang seakan putus asa.

"Aku mohon kau bertahan, demi aku dan Suho appa. Aku mohon ... Chaeng-"

Tangis tak lagi ia bendung. Kepalanya ia tenggelamkan di dalam lipatan tangan dan terisak pedih. Tak sanggup membayangkan jika nantinya ia akan sendirian lagi. Kembali tenggelam dalam keterpurukan. Hari-harinya menjadi gelap karena kehilangan penerangnya.

"A-aku sangat ingat waktu pertama kali kita ketemu. Kau rela mengejar aku hanya untuk meminta maaf karena sudah menabrakku di koridor. Kau tau? Saat itu aku merasa hidup kembali, karena mendengar suara lembutmu memanggil namaku," tuturnya mengingat pertemuan pertama mereka di koridor beberapa waktu lalu.

Sudah cukup. Ia sudah tak kuasa menahan rasa sakit melihat Chaeyoung terbaring lemah di sana. Tungkainya memilih melangkah pergi meninggalkan ruang rawat Chaeyoung untuk sekadar mencari udara segar.

"Loh, Lisa, ingin ke mana, hm?" tanya Suho yang baru saja datang sehabis dari restorannya.

"E-eumm, a-aku ingin mencari angin, samchon."

"Ya sudah, hati-hati ya, Lisa."

Lalisa tak menjawab dan langsung pergi. Entahlah, ia tidak tahu harus ke mana sekarang. 'Rumahnya' tengah berjuang di dalam sana. Tak ada lagi tempatnya untuk pulang. Ia berusaha untuk tidak egois, tetapi tak bisa. Rasa tak ingin kehilangan membuatnya harus egois seperti sekarang.

Tangisnya pun tak henti turun di sepanjang jalan. Membiarkan pipinya terguyur air mata. Tak peduli tatapan aneh orang-orang yang berlalu lalang. Lagi, ia dilanda keputusasaan.

Jika akhirnya harus seperti ini, mengapa saat itu tak Tuhan biarkan saja ia jatuh dari gedung? Daripada ia harus kehilangan penyelamat hidupnya, lebih baik ia pergi saat itu juga.

"AAAAA!" Lalisa berteriak kencang dengan maniknya menatap langit. "Kenapa? Kenapa takdirku seperti ini, Ya Tuhan? Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan lebih lama lagi? Kenapa, Ya Tuhanㅡ kenapa?"

"Aku tidak sanggup-Sudah, cukup! Masalah yang aku hadapi selama ini sudah sangat menyiksaku. Jadi aku mohon dan meminta tolong ... tolong jangan tambah masalahku dengan memanggil Chaeyoung secepat ini. Tolong ..."

Rintik hujan mulai mengguyur setiap titik tempat ia berada. Membuat para insan yang sedang berjalan santai, sontak berlari mencari tempat berteduh. Namun, tidak untuk dirinya. Ia biarkan tubuhnya basah diguyur hujan. Membiarkan setiap pasang mata memerhatikan dirinya yang tengah kehilangan asa.

Ia lelah. Ia ingin beristirahat. Ia ingin kembali melihat senyum bahagia Chaeyoung. Ia ingin kembali menatap wajah ayu malaikat tak bersayapnya. Ia ingin kembali mendengar suara lembut itu memanggil namanya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya sebagai musisi, bersama Chaeyoung.

Chaeyoung adalah alasan Lalisa untuk tetap hidup. Tapi mengapa di saat dirinya sudah mulai bangkit, cahayanya justru memilih untuk pergi? Mengapa semua ini terjadi? Mengapa takdir begitu kejam padanya? Mengapa Tuhan seakan mempermainkan dirinya? Hatinya tak sekuat baja. Ia rapuh. Sangat.

"Aku mohon, Tuhan. Izinkan Chaeyoung sembuh, izinkan dia untuk hidup lebih lama. Jika tidak, biar aku saja yang pergi. Chaeyoung jangan," lirihnya yang bertubruk dengan suara hujan.

•••

Suho menggenggam erat tangan dingin Chaeyoung yang masih tertidur lelap, sesekali ia cium punggung tangan itu dengan lembut. Sedangkan tangan kanannya Suho gunakan untuk mengelus rambut Chaeyoung penuh kasih sayang.

Melihat Chaeyoung seperti ini, mengingatkannya pada kejadian 5 tahun silam. Kejadian di mana istrinya mengalami hal yang sama seperti anaknya. Wajah pucat tertutup masker oksigen, tangan penuh akan kabel-kabel guna membantunya bertahan hidup.

Haruskah? Haruskah Suho kehilangan wanita kesayangannya untuk yang kedua kali? Haruskah Suho menandatangi surat pelepasan alat pembantu Chaeyoung hidup sama seperti Jisoo dulu? Haruskah Suho melihat bagaimana sakitnya Chaeyoung saat alat-alatnya dilepas seperti melihat Jisoo kesakitan dulu?

"AKH!" Jisoo berteriak kencang saat cairan itu disuntikkan ke dalam punggung tangannya. Air mata Jisoo mendadak jatuh dari ujung maniknya.

"Suho, sakit ...," adu Jisoo tak kuat lagi menahan rasa sakit tersebut. Bahkan genggaman dari jari-jemari Suho tak mampu menghilangkan rasa sakit yang ia alami.

Bayang-bayang Jisoo kesakitan membuat Suho kembali menitikan air matanya. Ia tak akan sanggup jika adegan itu akan terulang pada Chaeyoung. Sudah cukup ia kehilangan Jisoo, ia tidak mau kehilangan malaikat kecilnya. Cukup bidadarinya yang pergi, malaikatnya jangan.

"Sayang, a-aku sudah menandatangani surat pelepasan alat-alatmu."

"Sungguh?" tanya Jisoo dengan mata berbinar penuh harap.

Suho mengangguk ragu, "I-iya, besok kau boleh pergi. Biar aku yang akan menjaga dan merawat Chaeyoung seorang diri."

"Boleh? A-aku boleh pergi?" tanya Jisoo sekali lagi, memastikan keikhlasan Suho.

Suho tidak dapat membohongi perasaannya. Ia tidak mungkin merelakan Jisoo pergi, ia tidak sanggup. Tapi, melihat Jisoo yang tersiksa di setiap harinya, membuat Suho merasa iba. Jika saja penyakit Jisoo dipindahkan ke dirinya, Suho akan melakukan itu. Sungguh.

"Suho? Boleh? Aku boleh pergi?"

Suho menggeleng keras, ia segera memeluk Jisoo dengan erat, menumpahkan segala kesedihan dan rasa sakitnya di bahu sang istri. Ia tidak mau Jisoo pergi secepat ini, ia ingin membesarkan Chaeyoung bersama Jisoo, ia ingin menghabiskan seluruh waktunya bersama keluarga kecilnya, ia ingin berkeliling dunia bersama kedua wanita kesayangannya. Namun sayangnya, rasa ingin Suho hanya menjadi angan.

"Sayang? Boleh, kan?" tanya Jisoo lagi.

Suho menelan salivanya dengan susah payah, kemudian ia mengangguk kecil, "B-boleh, sayang, boleh."

To Be Continued

Evanescent [채리사]✔Where stories live. Discover now