Bab 16

171K 4.9K 73
                                    

“Liv.. buka pintunya, please..” Suara pria itu terdengar dari intercom apartemennya, dan terus-terusan memencet bel. “Aku tahu kamu di dalam..” Pria itu masih tak menyerah. Livia memeluk bantalnya erat, dia tak ingin diganggu, apalagi oleh pria satu itu. Matanya masih membengkak karena menangis seharian, hatinya sakit dan tentu saja, harga dirinya terluka.

“Tet.. tet.. tet..” Livia menutup telinganya dengan bantal, tapi tak bisa meredam berisiknya bunyi bel itu. “Aarrgghh... baiklah..” Livia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu. “Ada apa?” tanyanya singkat pada pria yang tengah berdiri di depan pintunya.

“What’s wrong with you? Telepon kamu nggak aktif, dan aku mencarimu di kantor, kata Rossie kamu nggak masuk. Kamu sakit?” tanya pria itu cemas.

Livia melangkah gontai ke sofa ruang TV dan pria itu menyusul tepat dibelakangnya. “Aku hanya ingin sendiri saat ini, nggak diganggu siapapun. Terutama kamu.” Ujar Livia.

“Aku? Kenapa aku?” tanya pria itu heran.

Livia menarik nafas, berusaha untuk tidak emosi saat ini. Ingin rasanya menonjok muka pria itu saat ini dan memaki pria itu sejadinya. Livia mengurungkan niatnya itu, dia mencoba untuk menenangkan emosinya, “karena semua ini terjadi karena kamu.” Desisnya pelan.

Melihat air mata menggenang di bawah mata Livia, pria itu menangkup pipi Livia, “Katakan.. Ada apa ini sebenarnya.”

Livia menggigiti bibir bawahnya, dia memang melakukan itu kalau dia sedang cemas ataupun menahan diri agar tidak menangis. “Semua ini salahmu.” Livia hening lalu menggeleng pelan, “bukan. Bukan salahmu, tapi salahku. Seharusnya dari awal aku tegas, tidak mau membantumu.”

Wajah pria itu menegang, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang telah terjadi dan membuat sepupunya itu kini bersedih. Edric mencari tisue dan menemukannya di atas tempat tidur Livia, dia kaget melihat banyaknya remasan tisue yang berceceran di lantai, nampaknya sepupunya itu menangis semalaman.

“Apa yang kamu maksud, ini mengenai permintaanku waktu itu?” tanya Edric ragu-ragu. Livia hanya menjawab dengan aggukan pelan. “Apa ini menyangkut Wilson Xian?” tanyanya lagi, tapi kali ini Livia hanya diam, tidak menjawabnya.

“Kamu.. mulai suka pada laki-laki itu?” tanya Edric ragu-ragu dan pria itu langsung yakin bahwa Livia menaruh perasaan pada Wilson hanya dengan melihat raut muka Livia yang berubah gusar.

Livia menceritakan kedekatannya dengan Wilson pada sepupunya itu. Liviasendiri juga tak mengerti kenapa akhirnya dia bisa berubah menjadi sedekat itu dengan Wilson, dan perlahan, Livia mulai tertarik dan mencintai pria itu. Tapi setelah Livia ingat-ingat lagi, memang tidak pernah kata cinta terucap dari Wilson, dadanya sesak menyadari bahwa selama ini Wilson hanya sedang bermain-main saja dengan dirinya.

“Livia.. Oh, ya ampun, aku nggak mengira kamu bisa jatuh cinta pada pria itu.” Edric menghampiri Livia dan merangkul sepupunya itu. “Kalau tahu pria itu membuatmu sedih seperti ini, aku nggak akan membiarkan kamu mendekatinya. Maafkan aku Livia.. Maafkan sepupumu yang bodoh ini. Kalau saja aku nggak menyetujui rencana Fandy, aku..”

Livia menghentikan Edric berbicara lebih jauh, “Fandy? Siapa dia?” tanyanya.

Seketika wajah pria itu pucat, seperti menyadari bahwa dia telah keceplosan mengatakan sesuatu. Edric pun mengangguk pasrah, “Sebenarnya Liv, aku bukan kalah bertaruh pada Wilson, aku bahkan tak mengenalnya. Aku kalah bertaruh pada Fandy, sahabat Wilson. Kami teman satu club mobil sport, dan cukup lama saling mengenal.”

Edric tampak tak yakin melanjutkan ceritanya, dia takut kejujurannya membuat Livia makin sedih dan terluka.

“Lalu?” desak Livia.

“Yah, waktu itu aku sedikit mabuk dan banyaknya sorak sorai yang mempengaruhiku untuk memperbesar taruhan, danaku terlanjur mempertaruhkan perusahaan itu. Tapi akhirnya Fandy memberikan persyaratan lain, dia tahu aku mempunyai sepupu yang cantik, yaitu kamu, lalu dia mengatakan dia akan mengembalikan perusahaan itu kepadaku apabila kamu berhasil mendapatkan undangan untuk masuk ke sebuah acara penting yang diadakan Wilson Xian.”

Livia terdiam, dia tak sanggup mengatakan apapun, dia masih tak percaya apa yang telah didengarnya dari Edric.

“Aku takut bilang pada papa mengenai perusahaan itu, dan aku fikir hanya mendapat undangan suatu acara tidaklah sulit. Fandy mengatakan hanya orang dekat sajalah yang bisa mendapatkannya, jadi.. jadi aku fikir, kamu pasti bisa mendapatkannya..”

Marah, kecewa, entah perasaan apa yang kini ada di dalam diri Livia. Livia berdiri dan berjalan menjauhi Edric di sofa. “Jadi kamu lebih memilih mengorbankan perasaanku. Tapi kamu tahu sendiri, aku nggak mendapatkan apapun.”

“Liv.. maafkan aku..” Ujar Edric lirih. Pria itu pun bangkit dari sofa dan menghampiri Livia. “Aku akan pergi menemui papa dan mengaku tentang kebodohanku.” Melihat wajah Livia yang cemas Edric tersenyum dan berusaha menenangkan Livia, “Aku tahu kamu pasti mengkhawatirkan keadaan papa. Aku akan mencari cara untuk mengatakannya tanpa membuat papa syok.”

“Aku ikut ya. Sudah lama aku nggak menemui Om.” Ujar Livia.

Edric mengangguk, lalu memeluk sepupunya itu, “maafkan aku ya Liv. Aku janji, aku akan berubah, dan memperbaiki ini semua. Aku nggak akan mengecewakan kamu dan papa lagi.” Livia membalas pelukan Edric, dia tersenyum mendengar ucapan Edric yang tulus itu. Setidaknya, dengan kejadian ini Edric sudah tersadarkan dan mau berubah, walaupun hati Livia masih sakit karena Wilson.

--

Wilson memarkirkan mobilnya di basement gedung, dengan malas dia memasuki club untuk menemui Fandy. Malam ini dia sedikit lelah dengan banyaknya urusan kantor, banyak yang harus dia pikirkan, tapi Livia terus saja muncul dalam pikirannya. Sekuat apapun dia ingin menghilangkan Livia dalam pikirannya, tapi bayang-bayang wanita itu selalu muncul. Mungkin dia harus bertemu dengan Fandy dan menceritkan masalahnya ini.

Saat dia memasuki club, terdengar suara gaduh, seperti ada perkelahian. Dilihatnya ada dua pria sedang dilerai oleh pramuniaga club, tampak salah satu dari kedua orang tersebut sangat emosi, dan satunya sedang mengusap darah di sudut bibirnya akibat kena pukulan, dan orang itu adalah Fandy. Wilson buru-buru menghampiri Fandy, tak biasanya temannya itu terlibat dalam perkelahian seperti ini.

“Ambil saja perusahaan itu, brengsek..!!” seru pria yang telah memukul Fandy.

“Ada apa ini Fan?” tanya Wilson. Fandy hanya terdiam, mungkin sedang menahan sakit di pipinya. Pria di hadapan mereka itu berusaha melepaskan diri dari pegangan dua pramuniaga club lalu mengalihkan pandangannya dari Fandy ke Wilson. Pria itu berjalan mendekati Wilson, “kamu pasti Wilson, bukan?”

Wilson mengangguk, dia mengamati pria yang tengah marah itu, dia tidak mengenal pria itu tapi entah mengapa dia sedikit familier dengan wajah pria itu.

“Jangan dekati Livia lagi.” Ujar pria itu lalu pergi meninggalkan Fandy dan Wilson.

Wilson tersadar begitu nama Livia disebut, dia ingat siapa pria itu, dia laki-laki yang bersama dengan Livia malam itu di club. Tapi kenapa dia memukul Fandy dan apa ini ada hubungannya dengan Livia. Wilson menatap sahabatnya yang tengah mengkompres lukanya dengan bantalan es, “Siapa pria itu Fan? Kenapa dia memukulmu?” tanyanya pada Fandy membuat raut muka sahabatnya itu berubah seketika.

Halooo semua.. Maaf saya baru bisa update.. Terimakasih lho sudah setia membaca cerita ini.. Terimakasih buat semua vote dan comment nya.. ^^ 

Tempting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang