Bab 8

237K 5.7K 86
                                    

Setibanya di private party, Wilson Xian langsung dikerubungi oleh kolega-kolega bisnisnya. Mereka mengobrol seputar bisnis dan berita ekonomi terbaru, Wilson tak dapat berkutik sehingga mau tak mau meladeni obrolan dari kelompok pebisnis yang rata-rata umurnya setegah abad itu. Fandy dengan lihai memisahkan dirinya dari kelompok itu dan pergi menghampiri Miranda yang memang menjadi tujuannya datang ke pesta ini. Wilson terpaksa berdiri di sana lebih lama dari yang dia perkirakan lalu dia pun mencoba pamit memohon diri untuk pergi ke bar yang berada di ujung ruangan. Bar tersebut sepertinya mulai tampak sepi dan sangat cocok untuk menjadi tempat menyendiri, pikir Wilson.

Wilson melihat sosok yang sepertinya dia kenal akan tetapi dia masih ragu karena pencahayaan dalam ballroom tidak begitu terang. Tapi saat cewek itu melambaikan tangan kepadanya, dia yakin bahwa itu adalah Livia.

“Livia juga datang ke pesta ini? Siapa cowok yang sedang bersama Livia itu?” batin Wilson dipenuhi pertanyaan dan belum selesai dia bertanya-tanya dalam hati, Livia sudah menghampirinya dan memeluk erat tangan kirinya.

“Kenalkan ini pacar baru aku.” Ujar Livia dan membuat Wilson bingung, ada apa ini sebenarnya dan kenapa Livia memperkenalkan dirinya sebagai pacar baru cewek itu.

Cowok tampan bernama Martin itu lalu pergi meninggalkan Livia dan Wilson setelah perkenalan singkat yang membingungkan tadi. Wilson pun memandang cewek cantik di sebelahnya dengan heran.

“Oh, thank you. Thank you so much.. Aku nggak tau gimana jadinya kalau kamu nggak datang ke sini..” Muka Livia begitu terlihat pucat, tangannya yang merangkul lengan Wilson pun masih gemetar.

Wilson mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut alasan tindakan Livia tadi, malah kini hati Wilson terasa nyaman karena bisa berada sedekat dengan Livia. Melihat Livia yang begitu panik dan ketakutan, nalurinya bangkit ingin melindungi cewek itu. “Sshh.. It’s okay now.. It’s okay..” Ujar Wilson sambil membelai rambut halus Livia dan menenangkan cewek itu.

Mereka berdua pun berjalan ke meja bar, Wilson memesan minuman untuknya dan Livia. Nampak ketegangan di wajah Livia mulai memudar dan cewek itu sudah mulai rileks. Sebenarnya Wilson tak ingin turut campur dengan permasalahan cewek itu, lagipula dia baru saja beberapa hari mengenal Livia. Akan tetapi rasa penasaran trus saja muncul, apa sebenarnya hubungan Livia dengan cowok tampan tadi.

“What’s wrong?” tanya Wilson pelan.

Cewek itu menyesap minumannya, “Aku nggak menyangka akan bertemu dengan cowok brengsek itu di sini. Martin, dia mantan aku.” Livia menenggak habis  minumannya dan meminta bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Sorry ya, aku tadi menyebutmu pacar baruku. Aku nggak ada cara lain lagi untuk membuat Martin pergi menjauh.”

Wilson hanya mengangguk dan mulai menghitung ini sudah kedua kalinya Livia meminta bartender untuk mengisi gelasnya. Mereka saling diam karena Wilson pun tak tahu harus memulai percakapan mereka darimana. Saat Livia menerima refil yang kelima kalinya Wilson pun mulai khawatir, “Aku nggak tau kalau kamu kuat minum.” Ujarnya sambil memperhatikan pipi cewek itu yang sudah mulai kemerahan.

“Nggaakk sihh.. Tapii rasanya enaak gituu.. Ini apaaa yaa..? ” Jawab Livia yang ternyata sudah setengah sadar dan mulai limbung.

Wilson menahan tubuh Livia agar tidak jatuh. “Sudah kuduga, kamu pasti mabuk Liv.” Lima gelas whiskey rupanya berhasil menumbangkan Livia dan kini membuat Wilson celingukan, berharap ada yang menolong dirinya untuk menyadarkan Livia. Tapi sepertinya nihil, pesta semakin larut dan sepertinya tak ada yang memperdulikan mereka.

“Livia, lebih baik kamu pulang. Tadi kamu ke sini dengan siapa?” Tanya Wilson.

Cewek yang setengah sadar itu hanya bisa menjawab  “Eehhmmm... akuuu...” lalu ambruk lagi di meja bar. Tak sampai hati Wilson meninggalkan Livia sendirian dengan keadaan masbuk, akhirnya dia memutuskan untuk mengantar Livia pulang. Wilson memapah Livia berjalan keluar ballroom dengan tetap berharap ada teman Livia yang melihat mereka dan mengantar cewek itu pulang, tapi sampai di depan pintu ballroom tidak ada satupun tamu yang menghentikan mereka.

“Benar-benar menyusahkan. Hanya karena bertemu dadakan dengan mantan, bisa membuat kamu nggak bisa membedakan cocktail dengan whiskey”, batin Wilson.

Tanpa Wilson sadari sebenarnya dua pasang mata terus mengawasi mereka berdua dari kejauhan. “Good job Livia..” gumam Edric sambil melihat kepergian Livia dan Wilson dari ballroom pesta itu. Edric mengangkat gelasnya dan mengajak bersulang cowok di sampingnya, “untuk keberhasilan rencana kita. Cheerss..” Mereka berdua tersenyum senang.

--

“Liv, rumah kamu di mana?” tanya Wilson setelah mendudukkan Livia di sofa yang ada di lobby hotel. Cewek itu tak bergeming dan sepertinya sudah larut dalam ketidaksadarannya.

God, bagaimana caranya dia mengantar pulang Livia kalau alamatnya saja dia tak tahu. Wilson memutar otak, dia membuka pouch yang dibawa Livia untuk mencari kartu identitas ataupun ponsel untuk menghubungi keluarganya. Tapi rupanya Livia tak membawa kartu identitas, uang sepeserpun dan terlebih lagi, ponselnya di lock, Wilson tak bisa membukanya. Damn, seharusnya dia tak menuruti kata-kata Fandy buat datang ke pesta ini, tapi jika dia tidak datang, dia tak bisa menolong Livia seperti yang diucapkan cewek itu tadi.

Wilson memutuskan untuk menyewa kamar di hotel itu agar Livia bisa tidur dan beristirahat, setelah memastikan Livia sudah aman, dia akan meninggalkan Livia dan pulang kembali ke rumahnya. Sesampainya di kamar, dia memapah Livia dan membantu cewek itu berbaring di kasur.

Wilson merapikan rambut Livia yang berantakan lalu memandangi wajah Livia yang saat ini sudah tertidur pulas. Wajah cantik yang makin lengkap dengan bibir merah kecil yang memikat, membuat Wilson ingin mencium dan melumat bibir indah itu.

“Stop Wilson, kamu nggak boleh mengambil keuntungan dari Livia..!!” seru hati kecil Wilson, dan dia pun segera menghentikan tindakannya.

Wilson berjalan menjauhi kasur putih itu, tapi seperti tertarik magnet yang begitu kuat, Wilson melirik cewek itu sekali lagi. Livia begitu cantik malam itu. Bajunya yang pas badan dengan model atasan kemben sehingga memperlihatkan leher dan pundak Livia, membuat Wilson berjuang keras menahan keinginan untuk mengelus kulit mulus itu.

Damn, kini bagian bawahnya pun sudah mulai berdiri. Wilson segera pergi meninggalkan kamar itu dan melaju kencang menuju rumahnya. Pengecut, ya lebih baik disebut begitu daripada harus menjadi bajingan yang mengambil kesempatan saat cewek itu tak sadarkan diri. Wilson tak ingin Livia membenci dirinya, lebih tepatnya lagi Wilson tak ingin melihat wajah shock Livia atau wajah jijik Livia jika nanti cewek itu terbangun dan mendapati Wilson ada di sampingnya. Ya, lebih baik begini, hanya membangun pertemanan dan relasi yang baik dengan Livia, dan tidak melibatkan perasaan apapun di dalamnya. Titik.

Tempting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang