Bab 2

365K 6.6K 102
                                    

“Sudah kuduga, kamu pasti di sini.” Cowok yang memakasi setelan jas pas bandan bewarna silver gelap itu masuk ke dalam sebuah ruangan kerja yang bisa dikatakan cukup gelap, dan lampu penerangan hanya menyala di sekitar meja kerja yang berada di ujung ruangan.

Wilson tahu siapa yang masuk ke ruangannya dengan santai dan hanya melirik singkat sahabatnya itu. “Aku banyak kerjaan. Kalau tidak ada yang penting, kau tahu pintunya di mana.”

Fandy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tahu bahwa Wilson akan bersikap seperti ini, apalagi saat dia tidak ingin diganggu dalam kesendiriannya. “Come on, buddy. Kenapa kamu selalu menolak untuk datang ke pesta-pesta itu. Lagipula mereka juga secara khusus mengundangmu, ingin bertemu dan mengobrol dengan pewaris Xian Enterprise, bukan hanya menerima perwakilan ataupun karangan bunga darimu.”

“Aku nggak suka keramaian.” Jawab Wilson singkat. Lebih tepatnya aku benci pesta, batinnya.

“Well.. sayangnya aku bukan sehari dua hari mengenalmu. Kita sudah berteman sejak kecil dan aku tahu bukan itu alasan yang sebenarnya kau menghindar dari segala macam pesta itu.”

Wilson merutuk dalam hati karena memang benar bahwa Fandy sudah pasti mengenal Wilson dan tahu setiap cerita tentang dirinya. Percuma saja berbohong pada sahabatnya itu. “Kalau kamu sudah tau alasannya, jadi jangan paksa aku buat ikut denganmu.” Wilson meneruskan kesibukannya meneliti file-file yang menumpuk di mejanya, berharap dengan ini Fandy bisa menyerah untuk membujuknya datang ke pesta.

“Aku nggak ingin melihat kamu terus-terusan menjadi manusia gua seperti sekarang ini. Wil, sudah saatnya kamu keluar dari cangkangmu dan menghadapi publik. Dan mungkin sudah saatnya kamu mencari seorang, ehm, pacar.”

Deg! Jantung Wilson seperti berhenti berdetak sepersekian detik saat Fandy mengucapkan kata tabu itu. Kata yang sudah dia blacklist, kata yang ingin dia lupakan dan tidak aka nada dalam kamus hidupnya, yaitu ‘pacar’.  Entah sudah berapa lama waktu yang terlewati, dia tak lagi memikirkan hal itu, apalagi merasa membutuhkan hal tersebut dalam hidupnya kini. Pekerjaan memang sudah menyita pikiran dan hatinya, dan Wilson bersyukur karenanya.

“Fan, aku akan pergi ke pesta, kalau aku memang berniat mendatanginya. Tapi sorry, untuk pesta ini aku pass dulu. Oke?”

Senyum tersungging di mulut Fandy, senyum khas cowok berambut ikal itu. “Oke. Aku nggak akan memaksamu lagi, buddy. See you tomorrow.” Fandy melangkah keluar sambil melambaikan tangannya dengan santai.

Klek. Suara pintu tertutup. Wilson pun bangkit dari kursinya, berdiri menghadap dinding yang sepenuhnya terbuat dari kaca di belakang meja kerjanya. Pemandangan kota malam hari dari lantai 50 gedung Xian Enterprise tampak indah. Kerlap-kerlip lampu dari kendaraan yang lalu lalang, cahaya lampu-lampu gedung, membuat jendela pemandangan tersendiri yang menemani kesunyian ruangan Wilson malam itu.

Wilson meraba pipinya yang kasar, dan menghela nafasnya. “Kalau aku setampan dirimu, pasti aku juga tidak akan menghindari sorotan media ataupun public, Fan.” Gumamnya. Wilson sudah menyadari hal ini sejak lama, bahkan sebelum dia berani untuk mempunyai mimpi untuk dirinya memiliki seorang kekasih. Badannya bisa dibilang cukup proposional, dengan tinggi 172 cm dan perut sixpack rata. Walaupun tidak berotot besar, lengan dan betisnya padat. Hanya saja itu semua tidak bisa mengurangi rasa minder akan wajahnya. Guratan-guratan kasar di sekitar pipi itu tetap akan terus ada sepanjang hidupnya dan membuat para wanita bergidik setiap kali melihat dirinya.

Fandy berulang kali menyuruhnya untuk mencoba operasi plastic, dan menyulap dirinya bisa setampan boyband-boyband yang saat ini tengah ngetop di kalangan para gadis. Tapi Wilson tidak menginginkannya, bahkan terbesit niat pun tidak. Sejak kejadian 10 tahun yang lalu, Wilson bahkan mulai bersyukur dengan keadaaannya yang seperti ini, malah membantunya membangun benteng pertahanan dirinya dari segala tipu muslihat orang-orang di luar sana.

Siapa di dunia ini yang tidak mengenal istilah “Money can buy everything” dan Jessica telah mengajarkan padanya bahwa “Money can buy love too”. Wilson menyadari bahwa waktu itu dia adalah bocah ingusan polos yang mengartikan segala kebaikan Jessica adalah cinta untuk dirinya. Hah, bullshit..!! Jessica hanya mendekati Wilson hanya karena dia adalah penerus Xian Enterprise yang kekayaannya masuk dalam jajaran 50 besar orang terkaya di seluruh dunia. Ya, sejak saat itu Wilson menutup dirinya dan tak mudah percaya pada setiap orang yang berbuat baik padanya. Waktu yang akan menjawab semuanya, apakah memang mereka tulus padanya atau sekedar mencari muka atau menginginkan uangnya. Wilson menutup hatinya rapat-rapat dan lebih memilih untuk menghindari makhluk bernama ‘wanita’.

Walupun begitu, memang tak bisa dipungkiri, dirinya masih normal, kadang dia juga butuh sosok wanita untuk mengisi kekosongan hatinya. Hasrat memang tidak mudah untuk dipendam, bahkan setiap pagi dia masih berdiri dengan tegaknya. Damn. Wilson mengerang atas keinginan yang tak pernah terpuaskan itu. Ini merupakan pertanda bahwa dirinya harus mulai mengalihkan pikirannya dengan fokus bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Hal yang positif, bukan? Sambil menyelam minum air. Sementara dia berfokus untuk tidak memikirkan hasrat, dia juga bisa mengembangkan Xian Enterprise. “No woman, no cry. I don’t need a woman.” Gumamnya mantap.

Tempting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang