Chapter 19

27.3K 2.7K 515
                                    

Salju nampaknya sudah enggan untuk turun dan mengotori halaman rumah Park Jimin.

Ditemani segelas susu hamil, Jihye terduduk di teras sembari melihat burung-burung yang tengah bertengger pada tanaman di depan sana.

Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh pagi saat wanita itu memutuskan untuk terjaga dan menyingkirkan dengan pelan lengan kekar sang suami yang melingkari pinggulnya.

Bukan karena takut dengan mimpi buruk yang datang di tidur lelapnya, Jihye malah nampak tak menghiraukan potongan kejadian tidak jelas yang hadir lima jam lalu.

Daripada harus memikirkannya, Jihye memilih untuk melupakan dan melawan ketakutan meskipun jantungnya nyaris keluar.

Memangnya siapa Gukie? Gukie itu laki-laki atau sebaliknya?

“Aku ke kantor, ya? Jangan lupa habiskan susumu dan makan yang banyak.”

Jihye mendongak dan tersenyum. Manis sekali. Apalagi dengan perlakuan yang juga kelewat manis dari sang kakak di pagi hari.

Wanita itu mengangguk. “Kakak ... aku menyayangimu,” katanya lantas memeluk perut Jimin yang masih berdiri di hadapan Jihye.

Jimin terkekeh gemas, kemudian mengacak surai sang adik. “Kakak lebih menyayangimu, Princess.”

Sangat mesra. Bahkan Jungkook yang berdiri tak jauh dari teras dengan kondisi mata yang agaknya tak kunjung menyingkap dengan baik kini tersenyum kecut.

Cemburu dengan kakak ipar itu hal yang wajar, bukan? Ditambah Jimin yang selalu bisa dengan mudah mendapat kecupan di pipi dari bibir Jihye. Ukh, Jungkook rasanya mau menarik istrinya dan mengurungnya di kamar saja—tentunya untuk dinikmati sendirian.

Namun, sadar akan kesalahan yang menciptakan goresan yang membekas di benak sang istri, Jungkook mengurungkan niatnya.

Pria jangkung itu hanya terus berdiri sampai Park Jimin menghilang dari teras rumah—disusul suara deru knalpot mobil yang perlahan menjauh.

Menghela napas, Jungkook kemudian menghampiri sang istri yang kini duduk seorang diri.

“Selamat pagi, Sayang.” Jungkook merekahkan senyum, lantas mengecup puncak kepala Jihye.

Menciptakan senyum paksa melalui sudut bibir, Jihye menatap sayu ke arah Jungkook. “Kau tidak bekerja?” tanya wanita itu.

Jungkook menggeleng, lalu berjongkok dan mendongak sambil melingkarkan lengannya di perut sang istri.

“Aku ingin seharian dengan istriku,” katanya lembut. Pria Jeon itu lekas mencium perut Jihye yang sedikit membesar. “Hai, Sayang ... jangan merepotkan ibumu, ya?”

Jihye yang melihat interaksi ayah dan calon anaknya itu tak menunjukkan raut apa pun selain menatap kosong.

Jihye memang tidak menemukan kebohongan dalam manik suaminya—sangat meyakini bahwa Jungkook tengah tulus memberikan perhatian dan penuturan maaf.

Bukan. Jihye tidak meragukan Jungkook. Tidak sama sekali. Akan tetapi, Jihye telah meragukan perasaannya.

Cinta bukankah sejahat ini? Jihye sudah berulangkali merasakan sakit, dan penyebabnya karena pria di hadapannya saat ini.

Kata maaf selalu Jihye dengar, tapi memberi kesempatan selalu ia lakukan.

Diduakan bukanlah sebuah keinginan setiap orang. Namun, daripada menghancurkan hubungan, Jihye kerap memilih kalah. Biarkan saja Jungkook menghancurkannya seorang diri.

Akan tetapi, kali ini yang Jungkook lakukan sudah melukai seluruh bagian dalam diri sang istri.

Selingkuh dan menghamili berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya yang pernah Jihye dapatkan.

Among The Hurt ✓Where stories live. Discover now