Chapter 12

25.4K 2.9K 901
                                    

Kenapa harus aku?

Park Jihye terus bertanya pada dirinya sendiri soal rasa sesak akibat ulah Jeon Jungkook.

Dari semua jutaan peristiwa yang telah ditulis untuknya, kenapa Jihye mendapatkan hal menyakitkan—sedangkan Jungkook tak pernah berhenti untuk berselingkuh.

Katanya, kuat adalah landasan paling utama untuk menuju kebahagiaan. Akan tetapi, Jihye mulai menereka-nerka di mana letak kebahagiaan itu berada.

Apa Jungkook masih peduli pun jika kaki jenjangnya tak sanggup lagi untuk dikendalikan? Atau justru pria itu malah pergi tanpa berminat membantu?

Ini sudah berjalan satu minggu sejak surat cerai Jihye layangkan. Selama itu pula, Jungkook tak pernah kembali menginjakkan diri di lantai rumah usai merobek surat hingga menjadi kepingan kecil.

Jihye bahkan masih mengingat jelas wajah merah padam Jungkook ketika melihat surat itu berada di hadapannya.

Jangan kau pikir aku mau menandatangani surat itu, Ji. Aku ... tidak akan pernah mengabulkan keinginanmu.

Begitu kalimat berapinya sebelum memusnahkan surat perceraian di depan mata Jihye.

Sekarang siapa yang egois? Ah, tidak. Jihye tak pernah merasa bahwa dirinya egois terhadap Jungkook—kendatipun pria itu selalu ingin dijadikan yang utama di dalam hidupnya.

Jihye kini hanya ingin memikirkan janin yang ada di perutnya. Sudah hampir dua bulan usia kandungannya saat ini, beruntung karena perut ratanya tak banyak berubah.

Di depan jendela yang terbuka dengan manik yang menatap kosong ke arah pohon besar di seberang rumahnya, Jihye mengusap perutnya secara halus.

Ada kehidupan di sini.

Tidak akan ada air mata lagi, Jihye telah berjanji pada dirinya sendiri. Pun ia mulai belajar untuk melepaskan Jungkook yang perlahan menjauh.

Jihye hanya tak mengerti ada apa di dalam isi kepala suaminya tersebut. Apakah belum puas berselingkuh sana-sini?

Pria itu bahkan benar-benar menguncinya di rumah besar itu setelah kemarahan karena surat cerai.

Tapi Jihye dapat bernapas lega karena Jimin mengunjunginya dan mengantarnya untuk melihat sang keponakan ke klinik kehamilan.

Sehat. Setidaknya Jihye dapat bernapas lega karena janinnya tidak selemah yang ia pikirkan. Padahal kondisi sang ibu sangat amat berantakan.

“Nyonya, makan siang sudah siap.” Bibi Han mengetuk pintu kamar sebelum membukanya sedikit.

Jihye menoleh dan tersenyum hangat. “Aku akan segera ke bawah, Bibi,” jawabnya.

Bibi Han mengerjap sesaat, lantas memberanikan diri untuk memasuki kamar Jihye yang dipenuhi oleh aroma parfum coconut.

“Ada Ibu Jeon di bawah, Nyonya,” kata Bibi Han hati-hati.

Jihye menelan saliva susah payah. Apa yang harus ia katakan jika ibu bertanya tentang Jungkook? Apa Jihye harus berbohong saja?

Wanita itu buru-buru mengangguk sebelum Bibi Han pergi dari kamarnya.

Jihye meninggalkan kursi kayu. Mengancingkan kemejanya di bagian atas, lalu turun ke bawah—disambut senyum sumringah dari sang ibu mertua.

“Anakku, ibu rindu sekali padamu.” Jihye menyambut pelukan ibu dengan erat.

“Aku juga merindukan Ibu,” jawabnya lembut.

Jihye sempat mengulum bibir manakala mendapati senyum aneh yang timbul dari wajah sang ibu mertua.

Bersamaan dengan itu, Jihye justru terkejut karena seruan bahagia dengan mata penuh likuid telah berhamburan di pipi wanita paruh baya tersebut.

Among The Hurt ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang