Chapter 13

25.6K 3K 474
                                    

Ketukan sepatu yang menggema di setiap langkah pada anak tangga membuat Jihye menghentikan aktivitas mengikat rambutnya.

Sejenak wanita itu memandangi pintu kamar lewat cermin di meja rias, sebelum akhirnya bangkit dari duduk dan tersenyum sumringah saat derit pintu mulai bersuara.

“Kak Jimin!” serunya senang, kemudian berhambur memeluk sang kakak usai mengikat rambut dengan benar.

Jimin terkekeh. “Astaga, Princess. Pelukanmu membuat Kakak tidak bisa bernapas,” katanya lalu mencubit pipi Jihye gemas.

Setelah sang adik berhasil melepas pelukan yang agaknya menyesakkan, Jimin segera menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

“Kau serius mau menginap di rumah Kakak?” tanya Jimin memastikan.

Pasalnya, dua koper berwarna hitam yang sudah siap di depan lemari itu amat mengganggu kepala Jimin.

Jihye mengangguk semangat. Tidak ada gurat kesedihan yang tertinggal di wajahnya.

Wanita itu sudah meyakinkan diri untuk pergi kabur dari belenggu yang Jungkook ciptakan untuknya.

Terlalu pahit untuk dirasakan, pun terlalu masam untuk diingat. Ketika kebahagiaan nyaris tak pernah ia dapat dengan segala cara, tapi kepalamu memaksa untuk terus bekerja keras.

Satu minggu lewat dua hari. Jungkook sama sekali tak memamerkan batang hidungnya barang sedetik.

Pun tidak ada layangan pesan yang pria itu kirimkan—hanya untuk sekadar bertanya kabar atau bercerita.

Jihye yakin bahwa sang pria telah sepenuhnya terpikat dan terikat oleh wanita yang kini tersenyum menang.

Jika diingat-ingat kembali, lucu saja kalau Jungkook sampai semudah itu membuang semua kenangan yang telah mereka rajut selama lima tahun bersama.

Tapi ... Jihye jelas tidak akan peduli lagi dengan semua rencana yang tengah mempermainkan pikiran sang suami tersebut.

Biarkanlah wanita itu menyelamatkan ego untuk memimpin, sedang hatinya berperan teguh dalam diam.

Kata ibu, “Lepaskan apa yang kau sukai, tapi selalu membuatmu sakit, dan tempatkan apa yang tak kau sukai tapi terkadang membuatmu nyaman.

Agaknya Jihye masih terlampau belia untuk mengunyah masuk dan mencerna apa isi nasihat sang ibu. Atau memang wanita itu meniru sikap ibu yang selalu setia kepada ayahnya kendatipun berulang kali diselingkuhi.

Sama. Ibu adalah cerminan dirinya sendiri. Barangkali ayah akan memaki di atas sana karena memberi kabar buruk untuk anak bungsunya; sebagai hukuman atas seluruh kesalahannya.

Jihye meringis pilu. Hidupnya yang teramat mononton dan menggelikan membuatnya sering mencemooh melalui cermin.

Terasadar akan tepukan pelan di pundaknya, Jihye lekas mengerjap panik. Maniknya menemukan wajah Jimin yang tepat berada di depannya.

“Melamun lagi?” Jihye menggeleng cepat. “Dengar Kakak, tidak?” tanya Jimin kemudian.

Jihye membasahi bibirnya, lantas kembali menggeleng malu. “Tidak fokus, Kak,” jawabnya.

Mengembuskan napas lewat bilah bibir tebalnya, Jimin lekas mengusak puncak kepala Jihye hati-hati; takut merusak tatanan rambut sang adik jika terlalu kasar.

“Kau hanya bertengkar dengan Jungkook, tapi kenapa membawa pakaian sebanyak itu?” tanyanya mengulangi.

Jihye tertegun, buru-buru menyengirkan mukut dan menggaruk pelipis. “Rindu Kak Jimin. Ingin tidur berdua lagi seperti dulu,” akunya yang langsung disambut kernyitan aneh dari Jimin.

Among The Hurt ✓Where stories live. Discover now