Chapter 14

25.5K 2.9K 648
                                    

Mengembuskan asap rokoknya, Jeon Jungkook terpaku pada rumah besar yang terpampang jelas lewat balkon apartemen.

Pria itu membasahi ujung bibirnya. Sudah terhitung satu minggu lebih empat hari ia tidak menginjakkan kaki di sana.

Memikirkan bagaimana Jihye menjalani keseharian tanpa dirinya, membuat Jungkook sedikit merasa ciut.

Barangkali Jihye akan merasa lebih tenang jika Jungkook tidak muncul untuk sementara waktu. Namun, terdengar sangat bajingan sekali jika pria itu tetap terdiam di apartemen ini tanpa membenahi apa yang telah ia rusak dengan sangat apik.

Jungkook tertawa pahit sebelum berakhitlr tersentak akibat lengan kembar mungil melingkari perut berbalut kemejanya. Beberapa detik setelahnya, Jungkook melepas paksa usai menginjak rokok di atas lantai.

“Seo, biarkan aku sendiri.” Suara serak itu menyambangi rungu Jiseo.

Memang sejak pagi Jungkook memperingatinya untuk jangan mendekat. Pun sekarang sudah cukup sore membiarkan Jungkook sendirian di balkon dengan cuaca yang nyaris membekukan tubuh.

Sejenak, Jiseo memandangi punggung lebar Jungkook. Takut mendadak menginvasi dirinya saat menyadari perubahan sikap sang pria akhir-akhir ini.

Oh, tidak. Tentu saja Jiseo takut Jungkook akan meninggalkannya—padahal kemenangan sudah berada di depan mata dan nyaris tersentuh dengan mudahnya.

Akan tetapi, agaknya Jungkook begitu susah melupakan presensi Park Jihye di kepalanya. Atau memang ia sengaja menaruh dengan porsi penuh nama Jihye di kehidupannya.

Jiseo tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah senyum Jungkook setelah mengetahui ada apa di dalam perutnya. Namun, langkah demi langkah Jiseo merasa bahwa senyum itu tak lagi dapat ia lihat.

Apa wanita Han itu akan kalah? Huh, mengingat perjalanan hubungan mereka yang sudah terjalin satu tahun saja sangat susah untuk dihapus. Mana mungkin Jungkook akan semudah itu melupakannya.

“Jung—”

“Kubilang tinggalkan aku, Seo!” potong Jungkook sedikit menaikkan nada dalam bicaranya.

Jiseo meremas kedua tangan di samping tubuh. Pandangannya mulai mengabur, kemudian air mata bercucuran membasahi pipi.

“Apakah istrimu seberharga itu?” tanyanya dengan suara bergetar.

Jungkook memejam, rahangnya mengeras bersamaan dengan pegangan pada pembatas besi yang mengetat. “Jihye lebih berharga dari apa pun, asal kau tahu!” teriaknya tanpa sadar.

Tapi, saat rungunya menangkap isakan kecil dari balik punggungnya, Jungkook lekas mengulum bibir.

Memutar tubuh untuk melihat sang wanita yang kini menatapnya nanar, Jungkook kemudian mengusap wajahnya frustasi.

“Jiseo-ya, bukan begitu maksudku,” katanya lirih. “Kau harusnya mengerti bahwa istriku juga butuh aku. Jangan egois dan melarangku untuk menemuinya.”

Sungguh, Jungkook tidak tahan lagi dengan ancaman Jiseo yang hampir membuatnya jenuh. Meskipun pria jangkung itu tahu ancaman yang Jiseo berikan hanya keluar lewat mulut, dan berakhir bersama udara.

“Seharusnya kau juga memikirkanku yang sedang mengandung anakmu, Jungkook!”

Hembusan napas lelah keluar dari bibir Jungkook. Masih enggan untuk memeluk Jiseo yang menangis, atau hanya sekadar menyentuh bahu yang baginya terasa amat berat, Jungkook lantas kembali memejamkan mata.

“Jiseo-ya ...” Tidak lagi. Kali ini Jungkook harus bersikap tegas. “... Jihye adalah istriku. Dia lebih berhak atas diriku,” jelasnya lembut.

Among The Hurt ✓Where stories live. Discover now