CLBK 11

23.6K 3K 240
                                    

Bioskop jadi salah satu tempat yang punya sejarah sedikit buruk bagi Lovatta. Tapi sekarang dia bersama yang lain di sini menanti film diputar. Dia duduk bersama Via menunggu Trio Badai yang tengah menukar tiker dan memesan snack.

"Untung gue ngajak lo," ucap Lovatta.

"Kenapa?" tanya Via.

"Kalau cuma sama mereka gue pasti nggak nyaman banget. Lihat sendiri Senja masih super baik, gue jadi nggak enak hati. Sementara Langit masih aja cuek padahal dia sendiri yang tadi bilang balikan."

Via hanya manggut-manggut karena Senja sudah kembali dari menukar tiket. Cowok yang punya senyum seperti gula kapas membagikan tiketnya satu persatu termasuk pada Langit dan Kala yang sudah kembali dengan makanan dan minuman.

"Lova nggak minum cola, Lang," ucap Senja, melirik gelas plastik berisi Coca Cola.

"Oh, ini punya lo," ucap Kala yang menyodorkan Milo dingin. "Colanya punya gue."

Lovatta melirik Langit yang sempat bingung. Dia tidak marah pada Langit karena memang Lovatta tidak pernah mengatakan pada Langit bahwa dia tidak bisa meminum minuman soda. Dulu dia hanya tersenyum senang saat Lamgit membelikannya snack dan cola saat nonton, lalu meninggalkan minumannya di kursi penonton tanpa meminum sedikit pun. Dia tidak mau banyak protes karena dulu pergi bersama Langit saja dia sudah bahagia.

"Thanks ya," bisik Langit pada Kala saat mereka antri masuk dan Kala mengedipkan sebelah matanya.

Langit berdiri lama di depan Senja yang sudah duduk di sebelah Lovatta. Merasa diperhatikan Senja pun mendongak menatap Langit lalu menoleh ke sebelah di mana ada Lovatta dan Via duduk bersebelahan.

"Oh, sorry. Lo duduk sini, gue pindah sebelah Via."

Langit tak membalas ucapan Senja, memilih duduk sambil meremas tiket di tangannya.

"Sejak kapan lo nggak bisa minum cola?" bisik Langit.

"Dari dulu," jawab Lovatta pelan, sedikit takut.

"Oh."

Balasan singkat Langit membuat Lovatta makin takut dan tidak konsentrasi dengan filmnya. Lovatta melirik Langit berulang kali ingin melihat ekspresi cowok itu tapi nihil. Semuanya gelap dan Langit memang jarang berekspresi selain ekspresi menakutkan yang dihasilkan dari tatapan tajam mata.

Gue pengen keluar dari lapisan ozon

Lovatta mengetikkan sebuah kalimat, ingin membuat status di instastory. Rasanya sungguh tidak nyaman, seolah dia sudah berbohong padahal bukan niat hatinya. Dulu setiap nonton bersama Langit, dia memang tidak pernah menolak saat Langit memberikan minuman soda. Baginya minuman apapun tidak masalah asalkan pergi berdua Langit, dia jadi merasa seperti pasangan kekasih seperti yang lain. Meskipun akhirnya dia tidak meminum minuman soda itu.

Tangan Langit tiba-tiba meraih tangan kanannya. Lovatta pun menoleh tapi pandangan Langit tetap ke depan menghadap layar. Hanya tangan Langit yang menggenggam tangannya. Ruangan jadi terasa panas padahal biasanya Lovatta kedinginan di dalam bioskop. Bunyi debaran jantungnya seolah mengalahkan suara dari film yang diputar. Untuk bernapas pun rasanya jadi sulit.

Kali ini Lovatta benar-benar tidak mengerti jalan cerita film yang diputar, dia sibuk menatap tangannya yang digenggam. Bahkan saat lampu ruangan dinyalakan Langit masih belum melepas tangannya. Kalau bukan karena panggilan Langit mungkin Lovatta masih mematung di tempat.

"Lov... Ayo, keluar."

"Eh, iya." Lovatta menarik tangannya tapi justru Langit mengencangkan genggamannya dan menariknya untuk berdiri.

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang