CLBK 7

26.9K 3.2K 433
                                    

Hari-hari berlalu, tidak mungkin Lovatta menghindar terus. Lovatta pun menebalkan muka. Lagipula dia merasa yakin saat ini sudah tidak memiliki perasaan pada Langit. Yang tersisa hanya rasa kesal dan malu. Ya, malu mengalahkan segalanya.

Lovatta menjalani pagi normal kali ini, berangkat pagi diantar papanya tanpa harus bertemu Trio Badai. Meski mobilnya sudah kembali ke rumah dia tetap ke sekolah bersama papanya. Dia tidak mau ada tragedi nebeng pulang lagi. Lebih baik dia diantar papanya atau supir sementara waktu.

"Girang bener wajah lo?" sapa Via yang baru saja masuk ke kelas.

"Akhirnya gue bisa berangkat tanpa bertemu Trio Badai."

"Kenapa lo jadi sebenci ini sama Langit? Sebenarnya gue pengen tanya hal ini dari kemarin tapi gue pending."

"Gimana gue nggak benci? Pertama, dia ngatain gue kambing."

"Hah? Kapan? Brengsek amat tuh bocah!"

"Bentar-bentar biar gue jelasin lebih lanjut dulu. Lo komentarnya belakangan."

"Iya-iya, ok."

"Pertama, dia ngatain gue kambing waktu gue WA terus waktu itu. Kesel nggak sih, sekalinya bales malah balesnya gitu. Kedua, Tiara lihat chat gue soal gue yang mohon-mohon minta balikan. Sumpah ya gue sakit hati sekaligus benci setengah mati. Dia boleh nggak suka sama gue tapi ya nggak gitu juga ngatain gue kambing. Jahat banget kan? Cowok apaan kayak gitu. Pokoknya gue sebel banget. Jahat!"

"Hah? Langit ngatain lo kambing dan Tiara tahu itu lo? Makanya gue bilangin dari kemarin jaga harga diri lo."

"Iya, iya gue salah! Tapi jangan nambahin gue kesel sama diri gue sendiri kenapa."

"Sorry. Terus gimana?"

"Tapi untungnya Tiara nggak tahu itu gue, kayaknya nama gue disamarin sama Langit di ponselnya. Ketiga nih ya, Kala tahu masalah chat itu. Pokoknya chat gue tuh pembawa petaka! Kenapa sih gue sehina itu kemarin?"

"Baru sadar lo."

"Terus si Kala tahu dong mantan Langit yang mohon-mohon minta balikan itu gue karena gue berantem sama Langit waktu dia minta anterin pulang Senin kemarin. Rasanya kok jadi runyam gini. Gue malu banget! Pokoknya gue benci banget sama Langit. Ngapain coba dia ungkit-ungkit soal kalau gue mantannya? Kesel gue, kesel!"

"Jadi Kala tahu?" Ulang Via dengan terbata dibalut rasa kaget. Dia tahu gimana malunya Lovatta saat ini.

"Iya tahu. Malu banget kan kalau jadi gue. Gue nggak punya harga diri lagi."

"Tapi lo masih sanggup berangkat sekolah."

"Ya gimana sekolah kan wajib. Nggak pa-pa biar gue dikata penyakitan matanya yang penting gue sekolah. Udah bayar mahal-mahal masa gue mau bolos."

"Bagus! Tapi mata lo sekarang udah nggak bengkak."

"Iya lah kan gue kompres, gue juga udah nggak nangis malam-malam."

"Lo nggak ditanya orang rumah mata lo bengkak?"

"Ditanya. Gue jawab aja habis nangis nonton film."

"Ngomong-ngomong hari ini olahraga ya? Gue kok males ya," ucap Lovatta lagi.

"Katanya udah bayar mahal."

"Iya sih tapi olahraga itu hal paling nggak menarik buat gue."

"Nggak menarik tapi jadi asisten klub basket."

"Nah, apalagi itu. Memuakkan banget buat gue sekarang ini." Lovatta menghela napas lalu bangkit meraih kaos olahraganya, siap utuk berganti pakaian.

Di pintu Lovatta berhenti melangkah melihat senyum Senja menyapanya. Senyum tipis mala petaka menurut Lovatta. Semua yang berhubungan dengan Langit adalah mala petaka, termasuk Senja.

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang