CLBK 3

27.9K 3.5K 398
                                    

Sudah 2 hari berlalu Langit tak juga membalas pesan Lovatta. Padahal setiap hari Lovatta masih mengirimi Langit pesan setiap saat. Lovatta membaca lagi pesan-pesannya yang terabaikan sejak Langit bilang akan membalas pesannya.

Langitku

Langit lagi apa?
Udah makan?
Katanya mau balas pesan gue.
Langit, maaf. Gue salah. Gue nggak akan minta putus lagi. Please, kita balikan ya.
Gue sayang lo.
Gue nggak tahu harus gimana kalau kita putus.
Gue nggak punya temen chat lagi.
Please, kita balikan ya?

Mata Lovatta seketika rasanya perih, menangis setiap malam tak membuat air matanya habis. Masih saja sakit dan matanya berkaca-kaca siap menumpahkan air hanya sekali kedip.

Lovatta merebahkan diri di atas kasur. Memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Inikah sakitnya putus cinta pertama kali? Sakitnya sama besar seperti cinta yang dirasa. Cewek dengan piyama kelinci meraih ponselnya membaca pesan-pesan Langit sebelum kebodohannya dimulai. Langit rajin mengingatkannya belajar dan beribadah. Membaca lagi membuat air matamya mengalir deras tanpa halangan hingga sesenggukan.

Kehilangan Langit membuatnya lupa caranya bahagia. Meski hanya cinta sendiri tapi bersama Langit dengan status pacar rasanya hati lega dan nyaman. Sekarang tak hanya cinta yang tak dia miliki tapi juga raga Langit.

Berkali-kali Lovatta mengatakan pada Via sebelumnya bahwa dengan sebuah status dia sudah cukup merasakan bahagia. Memiliki cerita yang hanya dia dan Langit yang tahu sudah cukup menyenangkan. Tapi kini semuanya hilang. Semua jadi terasa kosong. Dia rindu Langit.

Lovatta segera membuka pesan saat nama Langitku terpampang, menyeka air matanya.

Langitku

Berhenti gangguin gue!
Lo sendiri yang minta putus.
Yang udah ya udah nggak usah diinget-inget.
Kambing lo!

Seketika Lovatta membeku tak percaya Langit yang manis bisa berkata sejahat ini. Hatinya sakit berjuta-juta kali melihat setiap kata yang dia baca berulang-ulang. Kalimat itu tetap sama dan dikirim oleh Langit.

Tangan Lovatta sampai bergetar saat meletakan ponselnya di meja. Dia tak berani membacanya lagi. Berharap besok pagi kalimat itu hanyalah mimpi.

***

Lagi-lagi Lovatta mengendap-endap seperti maling memasuki SMA Gemintang. Dia bahkan memakai kaca mata hitam guna menutupi mata sembabnya. Meski sakit hati Lovatta tetap berangkat sekolah demi pendidikan. Dia anti bolos-bolos sekolah.

Saat menaiki lift, Lovatta memilih berdiri di pojokan dan menunduk. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga menutupi wajahnya. Posturnya yang kecil membuat orang tak akan sadar akan keberadaannya.

"Lo kenapa?" bisik Senja yang sudah mengamati tingkah Lovatta dari parkiran.

Mata Lovatta langsung waspada di balik kaca mata hitamnya. Dia tetap menunduk meski tahu Senja berada di sebelahnya. Dia hapal suara khas Senja yang sedikit serak.

"Lo kenapa?" tanya ulang Senja dan tetap diabaikan.

Lovatta memilih langsung ke luar lift begitu pintu terbuka di lantai 2. Dia lari kencang menuju kelas dan berujung menabrak seseorang hingga terjerembab. Tawa riuh sekitar membuatnya sadar akan tingkah bodohnya.

Sebuah tangan terulur membantunya berdiri dan Lovatta menerima tanpa melihat lebih dulu pemilik tangan itu. Langit, mantan pacar yang semalam menyakitinya telah membantunya berdiri.

"Lo nggak pa-pa?" tanya Senja di belakangnya.

Lovatta menggeleng dengan kepala menunduk dan membenarkan posisi kaca matanya. Dia menyumpah serapah di dalam hati atas kesialannya pagi ini.

"Besok jadi kan kita nonton?" tanya Senja.

Lovatta melirik Langit yang masih berdiri di hadapannya kemudian mengangguk cepat. Dia berpikir inilah saatnya untuk memperbaiki harga dirinya yang sudah jatuh dan hancur berkeping-keping. Tapi ternyata Langit seolah tak terpengaruh bahkan meninggalkannya dengan ekspresi datar.

Sakit hatinya terukir dalam. Dia berniat mencoba melupakan tapi tak akan ikhlas begitu saja. Dia ingin sekali membuat Langit menyesal atas apa yang telas diperbuat padanya.

"Hei, Lova!"

"Eh, iya. Lo tahu rumah gue?"

"Share lock aja nanti ya."

"Ok."

Senja Rawindra, Lovatta memandangi punggung lebar cowok itu. Kata orang, cara move on terbaik adalah orang baru. Haruskan dia memanfaatkan situasi ini untuk memperbaiki hatinya? Lovatta bimbang. Tapi Senja terlalu baik untuk jadi pelampiasan dan yang pasti Senja terlalu tinggi untuk digapai. Tak ada bedanya dengan Langit. Karena Langit, Senja, dan Kala adalah trio cowok badai di SMA Gemintang. Jadi belum tentu juga Senja mau dengannya.

***

Sudah berusaha agar tidak bertemu Langit tapi di mana pun Lovatta menginjakkan kaki di situ ada cowok berhati kejam itu. Dia sudah memilih memutar untuk menuju parkiran tapi masih saja berpapasan dengan Langit. Ingin pura-pura tak melihat tapi mata sudah saling bersibobok. Untung saja Via segera menyelamatkannya dengan memanggil namanya cukup keras. Lovatta langsung berbalik arah mendekati Via.

"Thank you so much, my love."

"Apaan sih?" tanya Via yang tak berniat memanggil untuk menyelamatkan Lovatta.

"Lo udah nyelametin gue dari ketemu Langit. Mulai detik ini gue nggak mau ketemu atau bahas cowok itu. Ok?"

"Yakin lo?"

"Yakin 100%! Kalau kita mau ngelupain orang caranya jangan membahas atau pun ketemu orang itu."

"Teori dari mana? Lo kebanyakan teori dari kemarin."

"Teori dari gue dong! Pertama, hapus kontak dan chat dari mantan. Kedua, buang semua barang yang berhubungan dengan mantan. Ketiga, jangan berhubungan lagi. Dan yang paling penting nih yang keempat, jangan bahas atau ikut nimbrung bahas mantan. Kalau ada yang lagi cerita soal mantan yang sekarang jadi cakep lah, keren lah, dan lain-lain lebih baik menyingkir. Dan sekarang gue mau ngelakuin itu semua! Lo harus bantu gue."

Via hanya manggut-manggut dengan badan berdiri kaku, melirik ke belakang Lovatta di mana ada Langit tengah berdiri di sana.

"Lo denger kan gue ngomong? Malah manggut-manggut doang kayak maenan dashboard mobil," ucap Lovatta.

"Ada apa sih?" seru Lovatta lagi lalu mengikuti arah pandang Via. Seketika dia ikut membeku.

"Oh, hai!" sapa Lovatta kaku. Lalu tersenyum pada Senja yang berada di samping Langit, mengabaikan Langit yang menatapnya.

"Mau ke perpus?" tanya Senja.

"Mau.... mau nyari lo, ya, nyari lo," jawab Lovatta terbata dan dengan mata tak bisa fokus. Jantungnya masih berdetak cukup keras hanya berada di dekat Langit.

"Gue baru rapat OSIS. Ngapain nyari gue?"

"Itu, gue mau nebeng lo pulang. Boleh? Biar sekalian lo tahu rumah gue," jawab Lovatta lalu melirik Langit yang masih berdiri di tempatnya tanpa ekspresi.

"Heh! Lo kan bawa mobil, Lov," seru Via.

"Oh iya, ya udah gue pulang duluan. Dah...." ucap Lovatta buru-buru menarik Via agar mengikutinya.

Lovatta sungguh malu luar biasa. Dia tak biasa berbohong jadi rasanya menakutkan dan pastinya terlihat bodoh. Lagi-lagi dia manjatuhkan harga dirinya di hadapan Langit. Lovatta membenci dirinya sendiri yang bodoh.

"Pia, gue makin ke sini kenapa makin bego ya?" gerutu Lovatta yang sudah di dalam mobil.

"Lo tuh nggak bisa bohong! Ngapain juga pakai bohong, ketahuan kan? Malu sendiri kan?"

"Gue nggak mau kelihatan patah hati di depan Langit."

"Tapi tadi lo malah kelihatan belum bisa move on."

"Emang gue belum move on, masih proses."

Lovatta membenturkan kepalanya di atas setir mobil. Merasa semakin bodoh jika berada di hadapan Langit. Dia masih belum bisa melupakan Langit begitu saja meski cowok itu sudah menyakitinya. Dan masih berharap pesan semalam bukan Langit yang mengirimkan.

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora