e p i l o g

3.5K 334 86
                                    

December 2nd,

Yukiko Evans menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum puas. Dres bermotif floral yang jatuh beberapa senti diatas lutut, serta jaket jeans gantung melekat pas di tubuhnya. Rambut kecoklatan Yuki yang kini mengikal dengan sempurna pun membuat senyumnya tambah lebar.

"You look stunning, i swear." ucap Miranda yang sedari tadi duduk di atas tempat tidur Yuki sambil memperhatikan temannya itu bercermin.

Yuki berdecak pelan, "Aku bakal mati beku." balasnya.

Miranda hanya tertawa lebar sebagai balasan sementara Yuki mengalihkan pandangan dari pantulan dirinya di cermin kearah jendela. Udara di luar sudah mulai mendingin dan Yuki berani bertaruh dalam minggu ini salju pasti akan turun.

Meskipun baik Yuki maupun Miranda tau kalau salju akan turun dalam waktu dekat dan temperatur di luar cukup untuk membuat bibir mereka membiru, Miranda tetap saja menyuruh Yuki untuk mengenakan dress pendek hari ini. Yah, meskipun Miranda mengenakan rok yang lebih pendek tanpa stocking--membuat Yuki bertanya-tanya kenapa gadis itu tidak mati beku--namun Yuki tetap saja tidak bisa menahan diri untuk tidak menggerutu.

"We'll graduate in March, so what? It's our last event as a senior. Be cool, Evans." adalah jawaban yang di lontarkan Miranda setiap kali ia mengeluh kedinginan.

Omong-omong, kalau di sekolah Yuki yang lama pada akhir tahun akan mengadakan prank event yang sangat besar, di Chesire sekolah mereka mengadakan semacam pentas seni bagi semua siswa yang berminat tampil. Jauh lebih baik dari pada mengerjai orang tak berdosa, menurut Yuki.

Sial, mengingat tentang event di sekolah lamanya, sedikit banyak kembali mengingatkan Yuki pada Zayn.

Yuki ingat setibanya ia di rumah ia mendapati pesan dari Zayn memenuhi layar ponselnya yang berisikan ratusan permintaan maaf, membuat Yuki melemparkan ponsel malang itu dan kembali menangis histeris. Batinnya terus menerus bertanya, apa sebegitu besarnyakah rasa sakit hati yang ia timbulkan pada Zayn sehingga laki-laki itu tega merencanakan hal yang begitu buruk di belakangnya?

Dan tidak bisa di pungkiri juga, kalau sebagian hatinya menangisi Harry. Menangisi fakta bahwa ia sangat sangat merindukan laki-laki itu namun ia juga butuh waktu untuk berusaha menerima semuanya. Untuk memulihkan luka hatinya karena Zayn sebelum mampu memulai lembaran yang baru bersama orang lain. Lagi pula Yuki yakin, Harry juga butuh waktu.

Omong-omong soal Harry, gadis itu memang hampir setiap hari bertemu dengannya di koridor. Tapi semuanya tidak pernah lebih dari sekedar bertukar lirikan sekilas ataupun senyum tipis terhadap satu sama lain.

Terkadang memikirkan kemungkinan kalau Harry bisa saja telah berhasil memadamkan perasaannya untuk Yuki, membuat gadis itu ingin memutar waktu dan mengambil semua kesempatan yang dulu ia punya.

Tapi bukankah hal itu sangat kekanak-kanakan? Karena Yuki tau pasti, dialah yang meminta Harry agar menjaga jarak dengannya selama beberapa saat.

"Jadi Nona Evans, kau mau melamun terus di depan kaca sampai besok atau mau pergi sekarang?" pertanyaan Miranda yang diajukan dengan nada sarkartis membuyarkan lamunan Yuki.

Gadis itu terkekeh pelan sebelum meraih tas kecil yang ia letakkan di sudut kasur dan menarik tangan Miranda kuat-kuat, menyentakkan tubuh sahabatnya itu hingga berdiri. "Pokoknya hari ini kita harus senang-senang, oke?" manik mata Yuki berbinar saat ia menatap Miranda yang balas menatapnya dengan seringai lebar.

"Tentu saja. Hari ini semua bebanmu akan terangkat." balas gadis itu mantap.

Yuki tersenyum lebar kemudian merangkul Miranda sambil sesekali terkikik pelan. Mereka berdua melangkahkan kaki, perlahan namun pasti menuju gedung sekolah yang sudah di sulap seperti arena konser.

fortune teller ★彡 h.sWhere stories live. Discover now