CLBK 1

76.1K 5.2K 448
                                    

"Gue mau putus."

"Ok."

Mata Lovatta melebar mendengar jawaban yang tak pernah dia bayangkan akan ke luar dari bibir kekasihnya. Langit terlihat santai menjawabnya. Bukan jawaban ini yang Lovatta harapkan. Dia ingin Langit memohon untuk jangan putus. Tapi kenyataan bertaka sebaliknya. Lovatta tak mempersiapkan untuk situasi ini.

"Ya udah, gue pulang."

Lovatta baru bisa bereaksi memanggil Langit saat cowok itu sudah berada di ambang pintu keluar kafe. Langit tentu saja tak mendengar atau mungkin menulikan diri saat Lovatta berteriak memanggil.

Lovatta tertunduk di mejanya, menangis tanpa malu meski banyak orang yang melihatnya. Dia seperti diserang petir yang tiba-tiba datang tanpa hujan. Lovatta menyesali keputusannya. Dia merasa sangat bodoh. Seharusnya dia sadar hal itu pasti akan terjadi. Tapi Lovatta selalu memungkirinya.

"Lov, lo ngapain nangis di sini?"

Mendengar suara yang tak asing, Lovatta langsung mengangkat kepalanya, mengusap pipinya yang basah. Dia memandang Via, sahabatnya dengan tatapan sendu.

"Katanya lo ada urusan penting. Terus ngapain lo ada di sini, nangis pula?" Via mengerutkan kening.

"Gue putus."

"Kok bisa?"

"Gue minta putus."

"Terus?"

"Terus Langit bilang iya. Pia.... gue nggak mau putus. Gue bego banget."

"Motivasi lo apa minta putus dari Langit, hah?" Via terheran-heran karena sepengetahuannya, Lovatta itu cinta mati sama Langit.

"Nggak tahu. Gue cuma pengen aja sekali-kali ngerasa dicintai. Gue pikir Langit bakal nolak putus dan mohon sama gue. Tapi ternyata Langit malah ngeiyain."

Via pun tak bisa berkata-kata karena dia tahu cinta sahabatnya itu hanya sepihak dan terlihat jelas dari perlakuan Langit selama ini. Hanya saja Via memilih diam karena tak ingin menyakiti Lovatta.

"Ya udah, kita pulang aja. Ceritain semuanya di jalan aja jangan di sini, malu."

"Gue harus gimana besok di sekolah?" Lovatta tak bisa membayangkan dirinya besok pagi menghadapi Langit. Pura-pura senyum rasanya sulit.

Tak beranjak pergi, Via pun menarik paksa Lovatta ke luar kafe dan masuk ke dalam mobilnya. Via yang awalnya janjian dengan seseorang pun akhirnya dibatalkan. Dia tak mungkin membiarkan Lovatta menangis di pojok kafe sendirian.

"Gue bakal minta balikan besok. Iya, gue bakal minta balikan," seru Lovatta di dalam mobil.

"Pikirin lagi."

"Gue nggak bisa hidup tanpa dia, Via. Lo tahu sendiri gue suka dia dari lama. Kenapa gue bodoh banget sih minta putus? Nggak bisa ya waktu diulang lagi?"

"Lo aja nggak pernah malam Mingguan selama pacaran. Apanya yang nggak bisa hidup tanpa dia?"

"Dia kan kumpul sama temennya. Gue nggak mau ganggu waktu dia sama temen-temennya meski kami pacaran."

"Lo yakin dia suka sama lo?"

"Maksud lo?" Lovatta memicingkan matanya.

"Ya, dia kan nggak pernah perlihatin di sekolah kalau kalian pacaran. Yang tahu lo pacaran sama dia juga cuma gue. Dia kan nggak mau orang-orang tahu kalian pacaran. Itu sama aja dia nggak mengakui lo sebagai pacar."

"Pacaran kan nggak perlu diumbar yang penting saling sayang."

"Yakin dia sayang lo?"

"Kalau nggak sayang ngapain dia nembak gue dulu? Kalau iseng, mana ada iseng bisa pacaran sampe setengah tahun."

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Where stories live. Discover now