~ firasat ~

31.9K 1.8K 301
                                    

Suasana sunyi dan temaram corner light menyambut Verina ketika ia membuka pintu apartemennya. Setengah mendesah ia mengunci kembali pintu berwarna jingga.

“Kau darimana saja Verina? Mengapa hp-mu mati?”

Verina tercenung sesaat di depan pintu apartemennya begitu mendengar suara di belakang punggungnya yang sudah sangat dikenalnya. Ada sedikit rasa sesal di hatinya, mengapa ia bisa lupa jika Ivan memiliki akses leluasa untuk masuk dan menunggu di apartemennya. Biasanya dia akan melonjak kegirangan mendapati pria itu duduk menunggunya, tak peduli jam berapa pun ia sampai.

Namun, saat ini ia ingin sendiri. Ia sedang tak ingin bertemu siapa pun. Bahkan jika bisa, ia ingin bersembunyi dari bayangan dirinya sendiri.

“Ve? Honey?”

Ivan terjengit ketika mendapati pelukannya ditepis begitu saja oleh Verina. Gadis itu justru memilih berjalan memutar dan duduk menempati sofa merah kesayangannya. Melesakkan tubuhnya demikian dalam, berharap kelembutannya dapat menyerap segala permasalahan yang membebaninya. Namun, ketika mata coklatnya melihat ke arah Ivan yang menatap lekat ke arahnya, permasalahan yang dirasakannya semakin menggunung dan kian berat menekan akal sehatnya.

“Ve?”

Verina menatap lekat ke arah Ivan, berusaha membaca apa yang dalam pikiran laki-laki itu.

“Aku hamil, Van, dan istrimu sudah tahu akan hal itu,”

Ivan tergagap sesaat namun segera berusaha mengendalikan diri. Walaupun ia sudah tahu dari Amira dan tumpukan test pack, namun hati kecilnya masih berharap apa yang disampaikan istrinya itu salah. Hingga saat ini, ia harus bertemu dengan kenyataan sesungguhnya.

“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” lirih suara Verina seakan menggaung tak jelas.

Ivan termangu diam, tak beda dengan Verina yang tertunduk lesu di tempat duduknya.

Sunyi.

Baik Ivan maupun Verina tenggelam dalam pikiran masing-masing, merenungi segala kekacauan yang semakin tak terkendali di antara mereka berdua.

= # =

“Edgar sudah tinggi ya… Berapa tahun aku tidak bertemu kalian?”

Suara baritone khas Barra menyadarkan lamunan Amira. Pandangannya segera beralih ke arah Edgar dan Naomi yang asyik membuka-buka buku didampingi Julia, pengasuh mereka.

“Entahlah Barra… Tujuh atau delapan tahun mungkin?”

“Sudah lama sekali ya ternyata…. “

Keduanya kembali terdiam, baik Amira maupun Barra tak banyak berkata-kata satu sama lain. Hanya jari lentik Amira yang bergerak, menelusuri satu demi satu titik embun di gelas tinggi orange juice miliknya. Sementara mata tajam Barra lekat mengamati wanita di hadapannya. Ada degup tak biasa menyentak di sela-sela detak jantungnya.

Tak bisa dipungkiri, ia begitu merindukan sosok yang kini terdiam di hadapannya. Amira masih sama seperti yang diingat Barra dulu. Bahkan kini semakin tampak matang dan dewasa. Garis ayu dan keanggunan makin tergores nyata, membangkitkan rasa terlarang yang setengah mati dicegah tumbuh oleh Barra.

“Apa yang mengganggu pikiranmu Amira?”

“Eh..?”

Sebuah pertanyaan tiba-tiba dari Barra menyentak kesadaran Amira. Menarik kembali pikirannya ke alam nyata, mengingatkannya bahwa ada Barra di hadapannya. Dengan sorot mata tajam dan dalam, berusaha membaca kegundahan yang susah payah disembunyikan Amira.

“Iya, apa yang menganggu pikiranmu? Dari awal kita bertemu, kau tak banyak bicara padahal ada banyak hal yang bisa kita ceritakan satu sama lain. Atau, kau menyesal bertemu denganku? Ivan marah karena kita bertemu?“

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang