~ lugas ~

22.3K 1.5K 286
                                    

"Gugatan sudah kita daftarkan ke pengadilan Amira, salinan berkas gugatan juga sudah kita kirimkan ke Ivan. Kita tinggal menunggu saja panggilan dari pengadilan,"

Amira tercenung sejenak mendengar penuturan lawan bicaranya lewat telepon.

"Amira?"

"Ah, iya Harsono, terima kasih atas infonya. Jadi kira-kira kapan panggilan dari pengadilan datang?"

"Tidak lama lagi, tak akan lebih dari seminggu ke depan," kembali suara lawan bicara Amira terdengar dari seberang telepon Amira.

Lagi-lagi Amira tercenung. 

Ia sudah mempelajari segala proses yang harus dilaluinya nanti demi mendapat keadilan untuk hati dan kesetiaannya.Terbayang di benaknya rangkaian persidangan yang melelahkan. 

"Tapi, kau masih bisa menarik gugatan itu Amira," suara pengacaranya membuat Amira tersentak dari renungan singkatnya

"Tidak Har, tekadku sudah bulat," sergah Amira, terlalu cepat bahkan menurut perasaan lawan bicaranya.

"Aku tahu Amira, hanya saja jika kau berubah..."

"Tidak Har!" tukas Amira lugas.

"Sekali lagi aku tekankan, tekadku sudah bulat, kau jangan coba-coba mencoba mempengaruhiku untuk berubah pikiran,"

"Maaf Amira, sebagai penasehat hukummu, aku mendukung penuh segala keputusanmu dan siap membantumu untuk memperjuangkan. Tapi, sebagai teman, aku sangat menyayangkan dengan apa yang terjadi dengan rumah tanggamu saat ini. Aku mengenal baik dirimu juga Ivan. Kalian tak seharusnya mengalami hal seperti ini,"

Amira menghela nafas.

"Terima kasih atas keprihatinanmu, Har. Tapi, pengkhianatan Ivan kali ini bukanlah hal yang bisa ditoleransi. Apalagi jika anak-anak sampai melihat dan terkena dampak langsung. Sudah cukup lama aku bersabar menghadapi Ivan, yang kau tahu sendiri seperti apa,"

"Tapi, kalian saling mencintai, aku yakin itu,"

"Aku sendiri juga berkeyakinan sama, tapi ternyata, cinta saja belum cukup sebagai alasan bagi Ivan untuk setia Har..." kegetiran terdengar jelas dalam nada suara Amira.

"Well... Aku masih berharap Ivan menyadari perbuatannya dan kalian tidak jadi bercerai,"

'Sudah terlambat,Har! Ivan sudah menghamili wanita itu!' jerit hati Amira. Namun bibirnya menyuarakan hal lain.

"Terima kasih atas harapanmu Har, tapi maaf, aku tak akan bisa mewujudkan harapan itu..."

Di seberang sambungan telepon, lawan bicara Amira menghela nafas penuh keprihatinan.

"Apapun itu, sebagai teman, aku selalu mendoakan yang terbaik bagi kalian berdua,"

"Terima kasih, Har, salam untuk Diana dan anak-anak,"

Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan gaung kosong di udara.

Perlahan Amira menghela nafas. 

Babak baru hubungan dirinya dengan Ivan sudah dimulai. Dia harus mempersiapkan diri akan berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Dari mulai kesiapan mentalnya sendiri, hingga bagaimana harus memberi pengertian pada kedua buah hatinya. Belum lagi pandangan dari kolega-kolega mengenai perceraian mereka. 

Keluarga besar, pers, lingkungan.

Amira kembali menghela nafas panjang, berusaha melepaskan rasa sesak yang tiba-tiba terasa menghimpit rongga pernafasannya.

Mau tak mau, suka tidak suka, semua harus dihadapi Amira. Buah dari pengkhianatan Ivan membuat getah pahitnya meracuni hampir seluruh aspek kehidupan Amira.

Denting smartphone miliknya menyadarkan Amira dari renungan singkatnya.

Senyum kecil terkembang di bibirnya yang cantik begitu membaca pesan yang terkirim untuknya. Tanpa banyak membuang waktu, Amira meraih tas dan bergegas meninggalkan ruangannya.

"Maaf Ibu, Bapak Ivan minta Ibu menghubungi beliau,"

Suara merdu Anggun menyambut Amira ketika ia melewati meja sekretarisnya. Seketika ia menghentikan langkah. Raut wajahnya sedikit mengeruh ketika mendengar apa yang disampaikan Anggun.

"Apalagi yang disampaikan Pak Ivan?"

"Hanya itu saja, Ibu, beliau minta Ibu menghubungi beliau begitu Ibu ada waktu,"

Sejenak Amira tampak berpikir, otaknya berasumsi salinan berkas gugatan cerai yang dikirimkan penasehat hukumnya sudah sampai ke tangan Ivan.

"Baik, terima kasih Anggun,"

Tanpa berkata lebih lanjut, Amira meneruskan langkah, meninggalkan Anggun kebingungan dengan reaksi atasannya itu.

= # =

'Maaf Pak Ivan, pesan Bapak sudah saya sampaikan pada Ibu Amira, beliau hanya menjawab "Baik" tidak ada pesan apa-apa lagi,'

Perkataan Anggun, sekretaris Amira, masih terngiang di telinga Ivan ketika ia meletakkan gagang telepon.

Keningnya berkerut.

Amira benar-benar memblokir semua akses untuk berkomunikasi langsung dengan dirinya. Walaupun Ivan masih bisa mengirimkan pesan singkat lewat berbagai macam sosial media, namun jangan harap akan mendapat respon Amira jika pesan itu berkenaan dengan urusan pribadi.

Sudah hampir seminggu terakhir ini Amira melakukan aksi blokade tak kasat mata untuk segala komunikasi yang mengarah urusan pribadi. Bahkan jika Ivan menanyakan tentang kondisi kedua buah hati mereka, Amira hanya menjawab singkat bahwa Edgar dan Naomi baik-baik saja.

Ditambah dengan kedatangan amplop putih bercetak firma hukum ternama yang kini terhampar di atas meja kerja Ivan, yang ketika membaca berkas di dalamnya semakin membuat Ivan merasa tertekan. Setiap pandangan matanya jatuh pada benda itu, imajinasinya memperlihatkan seringai penuh ejekan dari benda putih elegan itu.

Ivan mendengus. Kalau saja Dian, sekretarisnya saat ini ada di hadapannya, pasti akan merasa heran bukan kepalang. Bosnya yang biasa tampak menawan dengan wajah sumringah dan senyum kelas bintang, kini begitu suram dan keruh.

Lagi-lagi Ivan mendengus keras, dorongan untuk menghisap nikotin begitu kuat menarik dirinya. Sedikit bergegas, Ivan beranjak meninggalkan ruangannya, berlalu dengan tergesa meninggalkan ucapan Dian tergantung di udara sebelum sempat diutarakan.

Sampai ketika pandangan matanya melihat sosok Amira yang masuk ke dalam lift.

"Amira!"

Terlambat.

Secepat kaki Ivan berlari, namun masih belum cukup cepat menggapai tombol lift. Sejurus jari Ivan menyentuh tombol, lampu indikator menunjukkan jika benda itu sudah meluncur turun.

"Arrgh!"

Ivan mengerang frustasi, tangannya mengepal dan meninju udara kosong untuk meluapkan rasa kesalnya. Beruntung, saat itu koridor sedang sepi, hingga tingkah laku Ivan tidak menimbulkan tanda tanya bagi siapapun yang melihatnya.

'Amira...'

Denting lift menyadarkan renungan sesaat Ivan, setengah pilu, ia beranjak menuju pintu lift yang terbuka. Berharap ia masih bisa mengejar wanita itu meskipun ia kurang tahu pasti kemana arah yang dituju Amira.

= # =


WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang