~ di ambang batas ~

22.9K 1.1K 35
                                    

Amira duduk menghadap kolam renang, mengamati Edgar yang tampak serius menyimak instruktur polo airnya. Sementara Naomi pun tampak asyik berlatih bersama instruktur renangnya. Ekspresi wajahnya datar dengan mata tertutup kacamata hitam besar keluaran terbaru Guess.

Diam-diam Lina mencuri pandang, berusaha melirik ke balik kacamata dari celah sempit yang tampak dari sisi wajah Amira. Entah efek cahaya yang terbias dari gelapnya lensa kacamata atau apa, namun Lina menangkap kesembaban di mata Amira yang biasanya berbinar lembut dan indah.

”Amira....”

Amira tak bergeming terhadap panggilan Lina. Pikirannya seakan mengembara sendiri dengan raga tercenung diam di kursi pantai pinggiran kolam renang.

”Amira...”

Kali ini Lina mendekati Amira dan menyentuh lembut tangan Amira yang terlipat rapi di pangkuannya.

Amira tersentak.

”Eh?!? A.. Ada apa, Lin?”

Lina menghela nafas. Dirinya sudah cukup mengenal Amira dengan baik. Hari ini Amira sungguh berbeda, pembawaanya memang terlihat tenang, tapi seperti air yang menghanyutkan, setiap saat siap bergejolak, menghantam dan menghancurkan setiap obyek yang menghalangi aliran dahsyatnya.

”Amira... Kamu baik-baik saja kan?”

Kali ini wajah Amira berhadapan langsung dengan wajah Lina yang menatap cemas ke arahnya. Sekuat hati Amira berusaha meneguhkan hati. Sejujurnya, saat ini, ia ingin sekali menangis dan mencurahkan segala kegundahan yang menggelayuti pikirannya, namun hati kecilnya melarang keras-keras. Beruntung ia memutuskan mengenakan kacamata berlensa lebih gelap dari yang biasa ia kenakan, sehingga bisa membantunya menyembunyikan lara hati yang pasti tergambar jelas di kedua matanya yang sembab.

”Aku tidak apa-apa, Lin, thanks ya...”

Dari getaran halus di bibir dan suara lembut Amira, Lina tahu, sahabatnya itu tengah berbohong. Alih-alih bertanya lebih lanjut, Lina menggeser duduknya lebih dekat ke arah Amira. Dengan ketrenyuhan yang menguasai hatinya, Lina merengkuh pundak Amira dan meremasnya lembut, selayaknya seorang sahabat yang ingin meyakinkan bahwa dia selalu ada untuk Amira.

Amira tercekat.

Tanpa banyak kata, sikap Lina menyiratkan bahwa sahabatnya yang berambut sebahu ini telah mengetahui badai yang menghempaskan rumah tangganya. Tanpa bisa dicegah, bulir-bulir airmata meluncur turun, membasahi pipi Amira, meninggalkan jejak basah di gaun kuningnya. Hatinya yang sudah luka semakin meradang, menyadari bahwa sangat besar kemungkinan rencana Ivan menceraikan dirinya telah terlebih dahulu sampai ke telinga Doni dan Lina daripada ke dirinya. Ini semakin menegaskan, betapa laki-laki  yang setengah mati diperjuangkan Amira di hadapan ayahnya, ternyata tak lebih baik dari praduga ayahnya sebelumnya.

Amira mengepalkan tangan dan menggigit bibir bawahnya demi menahan segala emosi yang berkecamuk. Sungguh, rasa sakit yang sudah sangat luar biasa semakin menyiksa batin dan jiwanya.

”Semuanya sudah berakhir Lin... Semuanya sudah hancur berantakan...”

Lina tersentak.

Walau ia sudah tahu dari cerita Doni, tak urung, apa yang disampaikan Amira dengan begitu lugas membuatnya terkejut. Tanpa sadar, airmata Lina ikut luruh. Hatinya terasa ngilu, tak mampu membayangkan betapa berat beban cobaan yang dihadapi Amira saat ini.

Suasana kolam renang yang begitu ramai seketika terasa sunyi, yang tertangkap pendengaran Lina hanya isak tertahan Amira dan tangisnya sendiri.

”Apa sudah tidak bisa diperjuangkan lagi, Amira?”

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang