~ a little sweet revenge part 2 ~

22.7K 1.2K 46
                                    

Amira tersenyum sinis dalam hati. Dari semenjak tiba di perusahaan tempat Ivan menjadi salah satu pucuk pimpinan, ia sudah mempersiapkan diri dengan serangan tak kasat mata Ivan. Terlebih ketika ia memasuki ruang meeting, secara diam-diam ia memperhatikan reaksi Ivan secara mendetil.

Ia memang sengaja bersikap tak peduli, namun naluri dan instingnya semakin tajam menangkap perubahan suasana. Ia tahu, mata tajam Ivan tak pernah lepas memperhatikannya. Mengawasinya dengan ketat, ibarat burung elang yang mengintai mangsanya.

Namun Amira bergeming, ia cukup tahu dan mengenal Ivan, jika sedikit saja ia terlihat salah tingkah, serta merta Ivan akan merangsek maju, menembus dinding pertahanannya. Amira membatu, memilih bersikap tak peduli, lagipula hatinya juga sudah terlalu sakit.

Seperti saat ini, ketika ayahnya, Arja Wisesa, tengah memberikan kata sambutan singkat, Amira bisa merasakan tatapan tajam Ivan lurus ke arahnya. Amira mengangkat dagunya sedikit, membulatkan tekad untuk tidak peduli.

"Miss Wisesa, would you join us?”

Amira sedikit tersentak ketika mendengar suara dalam Phillip memanggil namanya dengan nama gadisnya. Dan di salah satu kursi putar yang ada di ruangan itu, seorang laki-laki juga tersengat perasaan geram luar biasa.

Amira tersenyum pada Pillip dan berdiri tepat di sebelah laki-laki berkewarganegaraan Kanada itu.

Ivan tercekat, begitu Amira berdiri, tanpa terhalang apapun dan siapapun, sosoknya terlihat begitu luar biasa. Sosok keibuan yang biasa Ivan lihat dari Amira, kali ini tak tampak sama sekali. Yang tampak justru aura tegas seorang pemimpin. Tekad seorang pejuang yang siap melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya.

Ivan menghela nafas panjang. Ia sadar, seluruh ruangan ini pasti mengenal siapa Amira dan siapa dirinya. Selain sebagai istri Ivan yang tidak pernah absen diikutsertakan dalam setiap acara penting yang diadakan perusahaan, Amira pun memiliki nama sendiri dengan jaringan butik batik miliknya. Bisa dikatakan, Amira populer di kalangan rekan-rekan kerja Ivan. Dan kini, entah apa yang ada di kepala setiap orang yang duduk di dalam ruangan ini, mengetahui Amira akan menjadi salah satu rekan kerja mereka.

”Good morning everyone,” senyum Amira merekah, dan Ivan setengah mati menahan diri untuk tidak melakukan tindakan impulsif yang bisa mempermalukannya.

”I am convinced surely all have most of you know me as a wife one director here, Mr. Ivan Prasojo,”

Entah mengapa, Ivan merasakan sergapan perasaan dingin ketika pandangan menusuk Amira ditujukan padanya. Sorot mata itu tanpa senyum, datar namun menyiratkan kebencian luar biasa. Baru kali ini Ivan menangkap gejolak emosi di mata Amira, meski bahasa tubuhnya bicara lain.

”But today, I stand here brings another mandate. As one of the new investors, Mr. Arja Wisesa, give responsibility on me to take over the functions and responsibilities of Mr. Harrison who demanded personally by Mr. Darmawan to handle operational companies at Asian region,”

Lagi-lagi Ivan menghembuskan nafas panjang, terjawab sudah rasa penasaran Ivan akan sikap Phillip yang terlihat biasa-biasa saja menanggapi perubahan kebijakan manajemen. Posisi yang baru saja ditempati Phillip sebenarnya sudah lama diidamkan Ivan. Semenjak beredar rumor mengenai pengunduran diri Mr. Chan sebagai direktur regional Asia, berbagai spekulasi berkembang mengenai siapa yang akan menggantikannya. Banyak di antara rekan kerja Ivan menjagokan Ivan, melihat kinerja Ivan, namun sayang, prediksi mereka meleset. Entah mereka tahu atau tidak, tapi yang pasti Ivan sangat tahu apa penyebab semua ini. Kebodohannyalah yang menyebabkan semua ini.

“To that end, as a colleague recently and since I am also new in this business, I hope the cooperation of colleagues for the sake of the company progress,”

“Welcome to this company, Amira Dewiyana Wisesa,” suara bass Phillip kembali terdengar disambung suara tepuk tangan dari seluruh yang hadir.

Lagi-lagi, pandangan mata Amira menusuk tajam ke arah Ivan dan Ivan hanya mampu tersenyum kecut. Hari-hari kekalahan telak dirinya telah dimulai.

= # =

“Dian, jika ada telepon untukku, bilang saja aku ada meeting mendadak yang tidak bisa aku tinggalkan,” bisik Ivan pada alat komunikasinya. Tanpa menunggu respon sekretarisnya, Ivan menutup teleponnya. Matanya kembali lekat menatap ke arah Amira, yang kali ini berbincang dengan salah satu direktur operasional.

Sedari tadi Ivan berusaha mendekati Amira, namun selalu saja ada penghalang. Mereka berdua, telah mampu bersandiwara sejauh ini mengenai kondisi rumah tangga Ivan dan Amira. Atau mungkin jika ayah Amira mengetahuinya pun, lelaki paruh baya itu mampu bersikap professional dengan tetap berbincang dengan Ivan mengenai strategi perusahaan dan isu-isu pasar yang beredar di masyarakat.

Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Amira tengah berdiri sendiri, menikmati potongan buah segar di dekat meja buffet.

“Amira, aku ingin bicara,”

Amira, yang terlambat mengetahui kehadiran Ivan, tampak sedikit terkejut, namun seperti biasa, Amira selalu mampu menyembunyikan emosinya. Tanpa terburu-buru ia meletakkan piring dan mengambil selembar tissue makan, mengelap pelan bibirnya yang basah oleh air buah.

“Apa yang akan kau bicarakan?”

Ivan terjengit, nada suara Amira begitu dingin, seolah Ivan hanyalah orang lain, atau memang sudah menjadi orang lain. Namun Ivan mau tak mau harus memilih menerimanya, ia tahu, Amira begitu karena kesalahannya, jadi apalagi yang bisa diharapkan Ivan.

”You look so great, aku sampai pangling,”

Amira menatap Ivan dan senyum tipis cenderung sinis mengembang di bibirnya.

“Thanks,” jawabnya singkat.

Ivan mengerutkan hidung, salah tingkah sendiri.

”Jika kau bekerja seperti ini, bagaimana anak-anak?”

Amira menatap lurus pada Ivan dengan sebelah alis indahnya terangkat. Pandangan matanya menyiratkan seakan apa yang ditanyakan Ivan adalah hal paling konyol yang pernah dilontarkan oleh manusia.

”Soal anak-anak adalah urusanku,”

Ivan menghembuskan nafas, akan sangat sulit menembus dinding pertahanan yang mulai dibangun Amira.

”Aku harap kau pikirkan lagi, Amira, tugas dan tanggung jawab Phillip tidak mudah dan sangat menyita waktu. Belum lagi kesibukanmu dalam menjalankan jaringan bisnis butik batik milikmu. Jangan sampai Edgar dan Naomi kehilangan sosok ibu karena...”

”Apakah kau pikirkan juga hal itu ketika kau minta kita bercerai?” sergah Amira gusar.

”Sudahlah Van, setidaknya aku sekarang punya waktu luang karena sudah tidak ada suami yang harus aku urusi!” lanjutnya lagi.

”Tapi kita belum bercerai, Amira!” desis Ivan tajam, berusaha meredam emosinya yang tiba-tiba naik ke permukaan. Ia tak menyangka, bumerang perceraian yang dilemparkannya kembali begitu cepat, mengenai ego dan hatinya dengan telak.

Amira menatap wajah Ivan lekat, kali ini dengan sorot mata yang membara, berkilat oleh amarah.

“Bagiku sudah, Ivan,” tandasnya.

Ivan terperangah.

Amira mengibaskan tangan Ivan yang mencekal pergelangan tangannya dan tanpa menunggu reaksi Ivan, ia berlalu meninggalkan Ivan sendiri, menghampiri sekelompok anggota direksi yang berkerumun memperbincangkan kondisi saham perusahaan mereka di pasar modal.

Sementara di satu sudut, mata tua seorang ayah mengamati lekat apa yang terjadi di antara anak dan menantunya, atau tepatnya calon mantan menantunya.

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang