~ hati kecil yang terluka ~

22.9K 1.1K 52
                                    

Amira menutup notebooknya dan meletakkannya di jok berlapis kulit lembut. Ia memejamkan mata dan meletakkan kepalanya di sandaran kursi. Menikmati lembut suara Adele ditingkahi derum mesin berkekuatan 231 bhp. Memanfaatkan sedikit waktu untuk memejamkan mata, beristirahat sejenak dari padatnya jadwal yang harus dipenuhinya.

Termasuk saat ini.

Hari ini ia telah berjanji pada Edgar, untuk mengajak anak sulungnya itu bersama teman-temannya menikmati makan siang di sebuah restoran siap saji. Untuk itulah ia meminta pada Anggun, sekretarisnya untuk mengosongkan waktunya, demi memenuhi janjinya pada Edgar.

Getar alat komunikasi di tangannya menyadarkan Amira dari istirahatnya yang hanya sekejap. Ternyata dari Julia, seorang sarjana psikologi yang dibayar tinggi oleh Amira untuk menangani segala kegiatan Edgar dan Naomi.

”Iya Julia?” untuk sejenak Amira memperhatikan apa yang disampaikan asisten khususnya itu.

”Baik, kau ajak saja Naomi, sekaligus antarkan dia ke tempat kursus piano. Hari ini kursus gitar Edgar diliburkan saja, nanti aku sendiri yang akan mengantar Edgar pulang. Tapi seandainya Naomi juga ingin libur kursus, kalian ikut saja dengan kami,”

Kembali Amira berkonsentrasi pada apa yang disampaikan lawan bicaranya.

“Ok, aku terima usulanmu. Kita bertemu di sana 10 menit lagi,”

Amira pun memutus sambungan telepon, sedikit rona bahagia terpancar di wajahnya yang cantik mengingat sebentar lagi ia bertemu dengan kedua buah hatinya. Setidaknya, sejauh ini semua berjalan baik-baik saja. Semenjak Amira memutuskan menerima tawaran ayahnya untuk menduduki salah satu posisi penting di perusahaan tempat ayahnya menanam modal besar. Belum ada kendala berarti yang tidak bisa ditangani Amira.

Kecuali Ivan.

Mengingat suaminya itu, membuat Amira mengerenyitkan kening. Tak mudah harus bersikap profesional sementara bayang-bayang perceraian menghantui interaksi mereka setiap saat. Walau hingga saat ini, belum ada sepucuk surat pun dilayangkan dari Dharmono Advokat, biro pengacara yang mewakili Ivan, pada Amira, mengingat betapa ngotot Ivan ingin mengakhiri pernikahan mereka.

Justru kini sikap Ivan berbalik 180 derajat.

Sebagai seorang wanita yang pernah mendampingi Ivan selama lebih dari 8 tahun, Amira bisa merasakannya. Entah apa maksud Ivan dibalik semua perubahan sikapnya, yang pasti itu semua sudah tak mempan lagi bagi Amira.

Amira menghela nafas dalam. Kembali pikirannya mengembara pada Ivan. Bagaimana bisa laki-laki itu berusaha merebut kembali hatinya sementara melalui orang kepercayaannya, sementara Amira tahu, diam-diam Ivan masih saja melakukan pertemuan rutinnya bersama Verina. Begitu mengetahui hal itu, tanpa bisa dicegah perasaan terhina dan amarah merambah di hati Amira. Ibarat seribu paku tajam yang menancap kuat dan tercabut, meninggalkan rasa perih tak terperi pada luka yang ditinggalkan.

”Ibu mau turun di lobi?”

Suara sopir kepercayaannya memecah lamunan Amira, membuatnya tersadar, ia telah tiba di pusat perbelanjaan terkenal, tempat anaknya menunggunya untuk makan siang.

“Di lobi saja pak,” sahut Amira sambil menyiapkan tas.

“Baik bu,” sopirnya kemudian mengarahkan mobil menuju lobi pintu utama yang kali ini dihias meriah dengan tema kebun bunga.

“Bapak sekalian istirahat makan siang  saja, tapi jangan lupa, sebagian barang-barang saya tinggal di mobil,” ujarnya sambil meninggalkan selembar uang dengan nilai besar dan turun dari mobilnya tanpa menunggu jawaban sopirnya.

Amira berbaur bersama para pengunjung pusat perbelanjaan, melewati pintu geser otomatis dan melenggang menuju restoran siap saji dimana kedua buah hatinya telah menunggu. Mereka tentu sudah tak sabar menanti kehadiran ibu mereka.

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang