Deja Vu

15.5K 1.1K 238
                                    


Matanya mengerjap nanar, berusaha mengembalikan fokus pandangan dari tidurnya yang tak tenang. Samar-samar telinganya menangkap bunyi getar teredam. Setengah sadar tangannya mencari-cari dan menggapai ke arah sumber suara. Ternyata gagdetnya yang bersuara, menarik kesadarannya dari mimpi gelisahnya.

Belum sempat ia memahami mengapa alat komunikasinya bergetar, ia harus bangun dengan paksa dikarenakan perut bergolak, disusul dengan mual yang hebat. Bergegas ia berlari ke arah wastafel dan langsung menunduk, menumpahkan apapun yang menghuni perutnya sambil menyalakan keran air.

Berkali-kali ia berusaha menghilangkan rasa mual dengan memuntahkan yang terasa mengganjal di organ pencernaannya, namun hingga ia lemas tak sedikitpun yang keluar. Hanya sedikit cairan kekuningan yang menandakan asam lambungnya berada di atas batas normal.

Ia mulai membasuh wajahnya, menyerap rasa dingin air yang menyentuh pori-pori kulitnya. Bersyukur, efeknya cukup membuat rasa mual dan pusing yang mulai menyerang sedikit mereda. Kemudian kepalanya bergerak, matanya yang mulai mendapatkan fokusnya menatap bayangannya sendiri di cermin.

Ia termangu.

Benar-benar buruk.

Pantulan bayangan dirinya yang tercetak di cermin begitu kuyu. Wajah yang biasanya tampak segar, cantik merona dengan riasan sempurna, kini begitu lusuh dengan mata lelah dan lingkaran hitam yang mulai membayang. Kehamilan benar-benar membuat kondisinya sangat buruk.

Perlahan-lahan, kesadaran menyeruak di sela-sela pikirannya yang berkabut. Menghantamnya serta merta dengan kenyataan menyakitkan. Matanya menelusuri setiap jengkal bayangan yang tercermin di hadapannya. Tanpa sadar, tangannya yang bergetar pelan mengelus perutnya. Kondisinya masih sama, belum menampakkan tanda-tanda kehamilan, tapi itu semua tak menutup kenyataan bahwa ia tengah mengandung.

Hamil.

Ya, dia hamil.

Seorang Verina Angelina hamil, kehamilan yang tak diharapkan karena diperoleh dari hubungan terlarang.

Walau sudah hampir sepekan berlalu tapi tak dipungkiri, kenyataan pahit itu benar-benar mengguncang seluruh aspek kehidupannya. Merusak segala rencana masa depannya. Mengaburkan semua impian-impian yang sudah dirajutnya satu persatu. Bahkan, kehamilannya mulai menggerogoti kehidupan profesionalnya. Ia kesulitan membawa diri, memasang topeng bahwa ia baik-baik saja di hadapan seluruh koleganya.

Sementara waktu terus berjalan, berbagai solusi yang terpikirkan oleh dirinya dan Ivan menemui jalan buntu dengan membentur dinding resiko yang tinggi dan tebal yang belum siap mereka pecahkan dan hadapi akibat perbuatan mereka.

Tanpa bisa dicegah, air mata yang semalam sudah terkuras kembali meluncur satu-satu. Menggenangi sudut matanya dan akhirnya mengaburkan pandangannya. Dengan isak tangis memilukan, kembali ia terpuruk, menyesal tanpa tahu harus berbuat apa.

= # =

Kakinya melangkah gamang tanpa tujuan, tak begitu yakin dengan keberuntungannya. Matanya berkelana, menelisik satu persatu sosok yang berkelebat dan tampak seperti Amira.

Tiba-tiba, telinganya menangkap tawa lembut dengan irama khas. Hatinya berdesir, hanya satu wanita yang mampu membuat suara tawa mengalun dengan nada yang meneduhkan. Suara tawa yang akhir-akhir ini secara tiba-tiba begitu dirindukan.

Amira.

Wanita itu duduk membelakangi arah kedatangannya, tampak sedang menikmati hidangan dan berbincang dengan lawan bicaranya. Dari samping tampak keceriaan mewarnai wajah cantiknya. Memberikan semburat khas di kulit pipi Amira. Setelah sekian lama, rasa-rasanya baru sekarang rona ceria yang begitu segar tampak di wajah ayu Amira. Ivan mendesah pelan, penuh rasa ingin tahu dengan siapa wanita itu berinteraksi. Perlahan ia melangkah, berusaha tidak mencolok demi menuntaskan rasa penasarannya terhadap siapa yang telah membangkitkan tawa lembut Amira.

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang