~ hati kecil yang terluka 2 ~

21.2K 1.3K 120
                                    

Amira tersenyum manis pada Verina yang tampak pucat pasi. Senyum yang sungguh bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Jujur saja, dia muak harus bertemu lagi dengan wanita yang sudah menghancurkan biduk rumah tangganya, namun ia tak bisa menyalahkan keadaan. Mereka semua hidup dalam satu kota, bahkan, karena tuntutan profesionalisme, mau tak mau, suka tidak suka, mereka akan semakin sering bertemu.

Tapi, saat ini Amira sangat tidak menginginkan pertemuan dengan Verina. Terlepas dari alasan urusan perselingkuhan, Amira sedang ingin menikmati waktu-waktu berharga bersama kedua buah hatinya. Memberikan kehangatan cinta dan perhatian agar kedua anaknya tidak terlalu terpengaruh oleh imbas kekisruhan rumah tangga orangtuanya. Namun, dengan pertemuan tak sengajanya kali ini, kembali mempengaruhi mood Amira yang sudah sejak tadi siang buruk.

Diam-diam Amira menghitung dalam hati, memvisualisasikan gerakan yoga penenangan diri dalam pikirannya. Belum sampai hitungan ke sepuluh, tiba-tiba Amira merasakan sentakan kecil di tangannya.

“Kita makan di tempat lain saja, Mama,"

Suara Edgar, pria kecilnya terdengar di gendang telinga Amira bak gaung di kejauhan, perlahan menurunkan kembali derajat kemarahan di hati Amira.

Dengan mengacuhkan Verina yang tampak salah tingkah dan buru-buru membalikkan badan menghadap ke mejanya sendiri, Amira memusatkan perhatian pada Edgar. Hatinya berdesir penuh antisipasi. Ia berharap, Edgar tidak mengenali, siapa perempuan yang baru disapa olehnya. Namun, naluri keibuannya bisa menangkap kegusaran di mata bening Edgar, walau begitu, Amira masih mencoba membujuk Edgar.

“Tapi, tadi katanya Mas Ega lapar dan ingin makan teriyaki? "

“Sudah tidak lapar lagi dan sudah tidak ingin makan teriyaki,”

“Yaaahhhh Mas Ega, Omi ingin makan karaage,“ sergah Naomi yang tak bisa menangkap perubahan sikap abangnya.

“Makan di tempat lain aja Omi,” balas Edgar dengan nada meninggi, sementara bahasa tubuhnya sudah hendak beranjak dari tempat duduknya.

Amira menyadari, ini saatnya bertindak sebelum anak-anaknya bertengkar tidak jelas dan menjadi totonan umum.

“Mas Ega,”

Edgar bergeming, wajah dan pandangannya berpaling ke arah pengunjung yang tampak lalu lalang dari pagar pembatas restoran. Jari tangannya sibuk menggurat-gurat meja, terlihat jelas kegusaran mewarnai wajah kanak-kanaknya yang tampan.

“Edgar Pratama, lihat Mama saat Mama bicara,” suara tegas Amira mau tak mau membuat bocah laki-laki itu berpaling ke arah ibunya. Amira menatap lekat kedua bola mata putra sulungnya.

“Sebelum kita memutuskan untuk mengikuti usul mas Ega mencari tempat makan yang lain, Mas Ega harus memberikan penjelasan pada Mama, kenapa kita harus pindah ke tempat makan yang lain,”

Edgar balas menatap ke arah Amira, namun ketegasan Amira membuat Edgar kembali menundukkan pandangan matanya. Bahasa tubuhnya terlihat nyata ia sangat tidak senang diperlakukan seperti itu oleh Amira.

Tanpa bisa dicegah, lirikan tajam mata kanak-kanaknya menyambar ke arah Verina yang masih terpaku membelakangi mereka namun memasang telinganya tajam-tajam pada pembicaraan yang tengah berlangsung di belakang punggungnya.

“Mas Ega?”

“Mama sudah tanya ke Papa belum, kenapa Papa lebih memilih makan siang dengan tante itu daripada dengan kita?”

Baik Amira maupun Verina sama-sama tersentak dalam artian yang berbeda.

Apa yang ditakutkan Amira terjadi sudah.

Amira sangat mengenal buah hatinya. Edgar adalah anak yang cerdas dan memiliki ingatan yang sangat tajam. Pastinya, anak laki-lakinya itu bisa mengenali sosok Verina yang kini duduk begitu dekat dengan mereka. Dan Amira yakin, hal itulah yang membuat Edgar merajuk hingga rela kehilangan kesempatan untuk menikmati sajian masakan Jepang dari restoran favoritnya ini.

Tak urung, perasaan gusar kembali memuncak di hati Amira, membuatnya sedikit bernada keras pada Edgar.

“Mas Ega! Mama tanya Mas Ega soal kenapa kita harus pindah ke tempat makan yang lain, bukan yang lain!”

“Pokoknya Edgar tidak mau!”

Amira terperangah.

Hampir seluruh pengunjung di restoran itu juga terkejut dan mulai memandang penuh rasa ingin tahu pada keributan kecil di meja Amira. Bahkan Verina pun berdiri dan memandang dengan perasaan tidak enak, dalam hatinya terbersit untuk segera menyingkir sebelum ia semakin merasa canggung. Alam bawah sadarnya tahu, dialah penyebab bocah laki-laki itu begitu ngotot pindah tempat makan.

Tiba-tiba, Edgar berdiri dari duduknya dan berlari keluar restoran sebelum Amira sempat mengantisipasi tindakannya.

“Edgar!”

“Mas Ega!”

Baik Amira maupun Naomi sama-sama berteriak memanggil Edgar yang berlari dan segera saja menghilang di sela lalu lalang pengunjung pusat perbelanjaan.

Semua terjadi begitu cepat.

Hati Amira mencelos seperti terhempas ke jurang tak berdasar. Detak jantungnya serasa berhenti sepersekian detik.

Ia tak menduga reaksi Edgar sedemikian keras. Perasaan was-was dan khawatir seketika merajai hatinya.

Kemana ia harus mencari Edgar?

Seluruh tubuhnya membeku, namun sedikit logika dan akal sehat yang masih tersisa menguatkannya. Ia harus berpikir jernih supaya bisa menemukan Edgar.

Otaknya berputar cepat, memetakan berbagai kemungkinan kemana Edgar pergi, berusaha menenangkan perasaan cemas dan takut akan kehilangan buah hati yang mulai naik ke permukaan.

“Ibu, saya bantu mencari putra ibu!”

Suara seorang petugas satuan pengamanan mall yang kebetulan berada di dekat lokasi menyadarkan Amira. Dengan terbata-bata Amira mengiyakan dan melihat sang satpam berlari ke arah Edgar menghilang.

“Naomi, kita cari Mas Ega ya… Naomi tahu, kira-kira Mas Ega akan kemana?“

Gadis cilik itu mengangguk kuat-kuat, dan Amira berusaha meyakini keyakinan Naomi, mencari kekuatan dari sikap positif polos kanak-kanak putri bungsunya. Mereka sudah sering ke mall ini, tempat-tempat bermain favorit mereka tak berada jauh dari restoran tempat mereka berada kini. Besar harapan Amira, Edgar berada di salah satu pusat permainan yang biasa mereka kunjungi.

Namun, perasaan khawatirnya tak juga luruh, bahkan semakin besar. Bagaimanapun, Edgar hanyalah seorang anak laki-laki kecil 8 tahun dan pusat perbelanjaan ini bukanlah tempat yang seratus persen aman bagi anak-anak yang sendirian.

Dengan tangan gemetar, Amira meraih tangan Naomi dan mulai menghubungi Julia serta Pak Darmono, sopir pribadinya, sambil berjalan keluar area restoran.

“Ibu Amira…”

Suara itu.

Amira berbalik, membuat Naomi sedikit limbung mengikuti gerak tubuh Amira yang tiba-tiba berubah arah.

Verina terkesiap.

Ia melihatnya.

Ekspresi sedingin es di wajah anggun Amira.

Api kemarahan membara di sorot mata indah yang menyipit ke arahnya.

Tanpa banyak kata, mata itu sudah berbicara, dirinyalah penyebab semua kekacauan ini.

Seketika hati Verina menciut.

“Saya minta ma’af…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Amira mendengus kecil, kemudian berbalik dan bergegas mengajak putri ciliknya, mencari anak sulungnya yang entah berada di mana.

“Ayo Naomi, kita harus segera temukan Mas Ega,”

Verina terperangah.

Hari ini semakin membuktikan, bahwa apa yang telah diperbuatnya selama ini adalah sebuah kesalahan.

Kesalahan besar dan fatal.

= # =

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang