~ terpana ~

19.5K 1.4K 90
                                    

“Ciri-ciri anak ibu seperti apa? Pakaian yang dikenakan warna apa?”

Dengan suara sedikit bergetar, Amira mendeskripsikan Edgar pada komandan satuan pengamanan pusat perbelanjaan dan petugas informasi yang mencatat segala keterangan Amira.

“Baik Ibu Amira, segala keterangan mengenai anak Ibu telah kami catat. Saat ini, personil kami tengah berupaya untuk menemukan anak Ibu,” jelas sang komandan satuan pengamanan di sela-sela suara petugas informasi yang menyiarkan mengenai Edgar.

“Terima kasih banyak, Pak,” jawab Amira lirih.

Amira memijit keningnya sambil terus berkoordinasi dengan Julia dan Pak Darmono. Waktu berjalan terasa sangat lambat dengan kecemasan yang dirasakan Amira kini. Walaupun telah sering berkunjung ke pusat perbelanjaan ini, namun hati Amira tak bisa merasa tenang dengan Edgar berada di luar sana tanpa jelas keberadaannya. Terlebih lagi setelah insiden pertemuan mereka dengan Verina.

Verina.

Mengingat wanita selingkuhan suaminya itu, amarah kembali menyeruak di sela kegundahan hati Amira.

Andai saja, hari ini mereka tidak bertemu dengan wanita itu, tentu kejadian ini tak perlu ada. Andai saja, mereka tadi memilih makan di tempat lain. Andai saja Ivan tidak berselingkuh. Dan seribu andai-andai lainnya yang mulai berkecamuk dalam benak Amira.

Namun berandai-andai tak akan menyelesaikan permasalahan. Mau tidak mau, Amira harus segera menuntaskan kemelut rumah tangganya bersama Ivan kalau tidak ingin anak-anaknya semakin terseret dalam kekacauan.

“Maaf Ibu Amira…”

Suara petugas informasi menyadarkan lamunan Amira.

“Iya Mbak…?”

“Salah satu staf keamanan menginformasikan bahwa seorang anak dengan ciri-ciri seperti anak Ibu sedang berada di pusat permainan anak yang berada di lantai 3, saat ini staf kami sedang bersama anak tersebut juga orang yang membantu menemukan anak ibu,”

Amira tersenyum lega walaupun belum sepenuhnya. Namun, informasi itu memberikan sedikit titik cerah mengenai keberadaan Edgar.

“Baik Mbak, terima kasih banyak atas bantuannya, saya akan langsung menuju lokasi,”

Tanpa membuang banyak waktu, Amira bergegas menuju lift untuk ke lantai 3 sambil menggandeng tangan Naomi yang berlari-lari kecil mengikuti langkah cepat-cepat Amira.

“Mas Ega sudah ketemu ya Ma? ”

“Iya Omi, kita berdoa sama-sama ya Sayang… ”

Wajah penuh tekad optimisme terlihat jelas di wajah polos Naomi ketika mengangguk dan tersenyum ke arah ibunya, membuat Amira tersenyum trenyuh. Dengan setengah tak sabar, Amira kembali memusatkan perhatiannya pada lampu indikator lantai yang menyala di samping pintu kaca.

“Mama ! Itu Mas Ega ! Mas Egaaaaaaaaaaaaaa… !!!!”

Sebelum pintu lift terbuka, Naomi sudah melihat sosok kakaknya yang tengah berdiri di samping seorang petugas keamanan berseragam.

Amira tersenyum lega. Kekhawatiran yang membebani hatinya lepas begitu saja. Seiring dengan terbukanya pintu lift, Naomi menghambur ke arah kakaknya diikuti Amira yang berlari kecil menyongsong buah hatinya.

“ Mas Ega kemana aja? Kasihan lho Mama nyariin terus dari tadi, ya kan Ma...?”

“Maafkan Mas Ega ya Mama... Sudah buat Mama khawatir...”

Edgar kecil dengan tubuh gemetar terisak dalam pelukan ibunya.

“Iya Sayang... Tidak apa-apa... Mas Ega baik-baik saja kan?”

Amira memegang kedua belah pipi anak laki-lakinya, memeriksa dengan seksama seluruh tubuhnya dan raut wajahnya.

“Iya Ma... Mas Ega baik-baik saja,”

Amira menghembuskan nafas lega demi mendengar jawaban putra sulungnya. Walau dengan sekuat tenaga menahan tangis, tapi Amira paham, Edgar pasti sempat merasa takut dan shock dengan akibat perbuatannya sendiri.

“Syukurlah kau baik-baik saja, Sayang... Ma’afkan Mama juga ya Nak... ”

Amira bisa merasakan kepala kecil dalam dekapannya mengangguk.

“Syukurlah Ibu, putra Ibu akhirnya bisa kita temukan,”

Amira tersentak kaget.

Karena perasaan bahagianya bisa menemukan kembali Edgar, membuatnya melupakan petugas keamanan yang sedari tadi berdiri, mengamati pertemuan mereka. Dengan tergopoh-gopoh, Amira berdiri dan menyampaikan rasa terima kasih.

“Ma’af Pak... Saya sampai lupa dengan Bapak… Terima kasih banyak atas bantuan Bapak…”

“Tidak apa-apa Ibu, kami paham, setiap orang tua yang telah mengalami peristiwa seperti Ibu, pasti juga akan bersikap seperti Ibu ketika bertemu kemabli dengan putranya. Tapi, sebenarnya bukan saya yang pertama kali bertemu dengan putra Ibu, melainkan Bapak ini. Beliau ini yang lebih berhak mendapatkan rasa terima kasih dari Ibu,”

Saat itulah Amira baru menyadari, bahwa ada sosok lain di samping petugas keamanan yang tadi berdiri mendampingi Edgar. Sosok yang tak asing bagi Amira, bahkan sempat memberikan warna berbeda dalam kehidupannya.

Barra Malik Wibowo.

‘Barra ?!?’

“Hai Amira, apa kabar ?”

Amira terpana.

WANITA PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang