Chapter 37

526 47 1
                                    

Anna merasa heran. Dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin dia masih mendengar suara dentingan piano yang Justin perdengarkan padanya pagi itu. Suara denting nada tinggi-rendahnya masih bergema dalam kepala Anna, seperti suara bisikan yang tidak juga hilang. Berada dalam keramaian sama sekali tidak membantu Anna, suara-suara di sekitarnya seperti membawa segala kenangan ke sudut terdalam memori-nya, padahal dia berada di tempat yang sama sekali berbeda dengan Lyra. Di Lyra tidak ada pantai dengan debur ombak yang menyapu daratan. Di Lyra tidak ada aroma asin laut dan para nelayan beraroma ikan pari. Di Lyra tidak ada anak-anak kecil dekil yang bertelanjang kaki di atas pasir, bermain atau sekedar mencari cangkang kerang—satu-satunya benda berharga yang bisa mereka miliki ketika mereka masih kanak-kanak karena orang tua mereka terlalu miskin bahkan hanya untuk membeli boneka kayu murahan yang biasa di jual pada hari pasar. Hari dimana perahu para pedagang merapat ke dermaga dan menjual barang-barang mereka. Kebanyakan hanya bahan makanan, karena penduduk pulau itu tidak memiliki uang untuk membeli sesuatu yang lebih dari itu.

Anna menarik napas. Sejak dia tiba kembali di Edessa dua hari yang lalu, tidak pernah sekalipun dia punya waktu dimana dia tidak perlu teringat pada Lyra dan..... Justin. Gadis itu mendengus dan mulai berpikir apakah mungkin dia tidak perlu melupakan Justin. Bukankah apa yang pernah dialaminya di Lyra bersama Justin adalah salah satu dari sedikit saat-saat yang membahagiakan dalam hidupnya? Mengapa harus melupakan masa-masa yang penuh kenangan indah, terlebih lagi dia hanya sebentar mengalaminya. Anna meringis lagi. Mengapa dia jadi bersikap seperti ini? Bukankah dia sudah sangat memahami bahwa yang terbaik bagi mereka semua adalah jika dia segera pergi? Untuk yang kesekian kalinya, gadis itu kembali menarik napas, kemudian menjatuhkan kepala di atas kedua lututnya yang tertekuk. Ombak kembali berdebur, menyapu jari-jari kakinya dengan genangan air dan pasir, lalu kembali tertarik ke lautan, meninggalkan jemari yang kotor oleh butiran pasir hitam.

Gadis itu memutuskan untuk tidak menghiraukan suara denting piano yang terus bermain dalam kepalanya. Well, mungkin ini tidak akan jadi seburuk yang dia pikirkan. Suara denting piano dalam kepalanya, selain kemungkinan bahwa dia sudah mulai sinting, mungkin saja itu pertanda bagus kan? Dia seperti punya pengingat akan hal yang membuatnya bahagia. Punya pengingat tentang saat-saat dimana Justin menatap matanya dan bicara padanya, saat-saat dimana Justin membuatnya merasa begitu berharga dan hatinya terasa hangat. Anna menarik napas, entah untuk yang keberapa kalinya, kemudian mengangkat wajah dari lutut, menatap ke lautan lepas yang biru oleh warna langit. Dia beruntung pantai ini tidak seramai pantai di sisi lain pulau. Biasanya, para nahkoda atau pemilik perahu akan merapat di pulau ini lewat sisi sebelah timur. Garis pantai di sisi sebelah timur nyaris tidak memiliki karang, berbeda dengan pantai sisi barat tempat Anna berada. Separuh dari pantai dihiasi oleh batu karang besar yang punya potensi merusak lambung perahu, karenanya pantai ini begitu sepi meskipun ada satu dua nelayan yang menebar jala mereka di sekitar sini. Anak-anak tidak ada yang mau bermain ke pantai ini. Kebanyakan karena takut, karena di balik batu karang di separuh garis pantai tersembunyi lubuk laut yang dalam, dan orang tua melarang anaknya pergi ke pantai barat dengan alasan lubuk-lubuk tersebut adalah tempat tinggal kraken yang suka mencari mangsa anak kecil. Anna terkekeh. Kraken. Konyol, seperti peramal tua yang ditemuinya di kapal sebelum dia tiba di tempat ini.

Gilbert, entahlah, orang tua itu tampaknya aneh, namun Anna heran bagaimana dia bisa mengetahui nama lengkap Anna, dan kapan Anna dilahirkan. Geez, apakah peramal juga punya kemampuan seperti cenayang? Anna merasa antipati pada hal-hal takhayul semacam itu, namun dia tersenyum manis ketika Gilbert melambaikan tangan begitu kapal mereka merapat di Frossia. Dia turun, dan punggungnya langsung menghilang dengan cepat di balik gelap malam. Kakek tua yang aneh, dengan tubuh yang begitu ringkih dan keriput, namun memiliki kekuatan untuk berjalan—atau justru berlari dengan cepat. Tidak sampai sepuluh detik sejak dia turun dari kapal, dan punggungnya menghilang di balik kegelapan birai pepohonan dari pandangan Anna. Aneh. Tapi dia memilih tidak memikirkannya.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now