Chapter 33

593 39 0
                                    

Anna mengerjapkan mata, lantas sedetik kemudian pipinya langsung dirambati oleh semburat merah tomat. Alec tampak buruk karena ada kantung hitam di bawah matanya, dan wajahnya terlihat lelah, meskipun rambutnya basah dan ada aroma parfum yang samar menguar dari tubuhnya. Dia pasti sudah membersihkan dirinya di pancuran, meskipun kuat dugaan bahwa dia tidak bisa tidur semalaman. Anna bertanya-tanya, apakah Alec tidak bisa tidur karena memikirkan mengenai masalahnya, atau memikirkan mengenai hal lain? Meskipun belum mengenal Alec begitu lama, Anna mengerti laki-laki itu seakan dia telah bertahun-tahun mengenalnya. Jauh di dalam hatinya dia tahu betapa Alec menyayanginya, dan dia juga menyayangi Alec.

"Apa yang kau lakukan disini?" Justin mendesis, jelas sekali ada nada defensif dalam suaranya. "Jika kau datang hanya untuk membuatnya menangis seperti yang dilakukan Isabella, sebaiknya kau segera pergi."

"Perhatikan kata-katamu." Jawab Alec, tidak ada ekspresi dalam suaranya. "Sepertinya kau tampak tidak terlalu baik, Anna."

"Aku merasa senang bukan hanya aku yang tampak mengerikan dengan kantung mata." Anna menjawab, kemudian tersenyum dan maju selangkah lebih dekat. Alec ikut melangkah, namun dia terus melanjutkan langkahnya lantas merengkuh Anna ke dalam dekapannya. Matanya terpejam ketika hidungnya menghirup aroma rambut Anna.

"Kupikir aku harus memberi kalian waktu untuk bicara." Justin berkata, kemudian dia melangkah menuju pintu dan menutupnya. Laki-laki itu berpikir bahwa mungkin saja kehadiran Alec tidak seburuk seperti apa yang dipikirkannya. Hubungan Alec dan Anna sangat dekat, seperti dirinya dan Jean. Jadi Alec tidak mungkin menyakiti Anna. Gagasan ini membuat Justin tenang dan berhasil melangkahkan kakinya tanpa beban menuju lantai bawah. Namun keningnya kembali berkerut ketika di lantai bawah dia melihat Jean, duduk menghadapi meja bar yang merapat pada tembok, bertopang pada kedua sikunya. Dia tengah menutupi wajahnya, rambutnya tergerai begitu saja di sekeliling wajahnya, seperti membentuk tirai yang tak bisa ditembus.

"Jean?" Satu kata dari Justin, dan berhasil membuat Jean mengangkat kepalanya. Well, satu lagi orang yang kurang tidur tadi malam. Ada kantung hitam yang samar di bawah mata Jean, dan wajahnya tampak lelah. Mantelnya disampirkan begitu saja di tepi meja bar, dingin dan lembab ketika Justin menyentuhnya.

"Selamat pagi, Justin."

"Kau tampak kacau." Justin berkomentar, mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan mendapatkan apapun yang bisa dimakan oleh Anna. Dia justru menarik sebuah kursi tinggi lainnya dan mengambil tempat di sebelah Jean. Matanya tak lepas dari wajah Jean yang tampak pucat. "Apa yang terjadi? Katakan padaku."

"Tidak terjadi apa-apa." Jean tersenyum samar. Senyum yang tampak muram karena cahaya mata biru kehijauannya yang redup. "Aku hanya... mampir sebentar disini."

"Kau datang bersama Alec?"

Jean tertawa pelan, "Tidak." Katanya, berdusta tentu saja. "Aku kebetulan bertemu dengannya di gerbang depan. Dia ingin menemui Anna, dan aku ingin menemuimu."

"Jangan bohong padaku." Justin menghembuskan napasnya dengan berat. "Mantelmu lembab dan dingin, sementara pagi ini tidak turun hujan sama sekali. Udara sejuk, dan langit bersih tanpa awan mendung. Satu-satunya alasan yang masuk akal yang bisa membuat mantelmu jadi lembab seperti itu pastilah hujan deras yang turun semalam. Katakan yang sejujurnya padaku. Kau datang bersama Alec? Kau memiliki masalah dengannya?"

"Aku tidak menduga kau sudah jauh lebih pintar, Lil Bro." Jean terkekeh. "Aku menginap di tempat Alec semalam. Hanya itu."

Mata Justin menyipit. "Menginap di tempat Alec?"

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang