Chapter 17

689 67 0
                                    

Anna mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya sesaat setelah mendengar perkataan Justin. Apa katanya tadi? Bukankah aku adalah superman-mu? Maka dari itu, jangan bertindak bodoh ketika pelindungmu tidak berada di sekitarmu. Gadis itu masih terperangah, seperti membutuhkan waktu lama untuk bisa mencerna perkataan Justin. "Superman?" gumam gadis itu, seakan Justin baru saja berbicara padanya dalam bahasa alien.

Justin mengernyitkan kening, kemudian menyadari betapa lambatnya Anna menerima informasi. Pria itu berdecak tidak sabaran. "Bukankah kau yang mengatakannya tadi? Di tepi kolam renang? Kau bilang aku adalah supermanmu, karena aku selalu datang dan menemukanmu ketika kau membutuhkan pertolongan. Ketika kau membutuhkanku. Aku heran bagaimana bisa kau lupa secepat itu."

"Benarkah?" Anna melotot, namun sedetik setelahnya dia justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal ketika Justin meraih tangannya, menariknya keluar dari butik itu begitu saja tanpa pergi ke meja kasir—dan anehnya, tidak ada satupun dari pramuniaga disana yang mencegah kepergian mereka.

"Ju—Justin! Bukankah kita harus membayar benda ini?"

"Tidak perlu."

"APA?!!!!" Anna berteriak hingga tingkatan oktaf kedelapan, membuat Justin melepaskan tangannya dan menatap Anna dengan pandangan heran, seperti mengira-ngira kegilaan macam apa lagi yang tengah melingkupi gadis ini. Anna hanya melotot tidak percaya kemudian melepaskan scarf cokelat gelap yang melilit lehernya, sibuk mencari-cari label harga di bawah tatapan Justin dan melotot saat dia menemukan label harga yang dicarinya. "APAKAH HARGA SCARF HARUS SEMAHAL INI?!!!" Pekiknya dengan shock. Justin menyentakkan kepalanya.

"Pelankan suaramu."

"Hah?"

Justin memutar bola mata. "Kau mempermalukanku."

"Apa..."

"Ayo jalan." Laki-laki itu berseru seraya kembali menarik lengan Anna, dan tanpa menghiraukan protes yang dilontarkan oleh gadis itu, Justin terus berjalan, melintasi trotoar yang ramai diiringi oleh tatapan geli dari beberapa orang yang mereka temui. Anna mencoba meronta-ronta untuk melepaskan lengannya dari lengan Justin, namun hal itu justru membuat memar-memar di tubuhnya terasa sakit. Gadis itu melenguh, menghembuskan napas dan meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya dan memutuskan mengikuti apa yang Justin lakukan tanpa perlawanan. Tidak berapa lama kemudian, langkah mereka berhenti di depan sebuah restoran mungil yang Anna ketahui sebagai sebuah restoran kelas atas. Hanya kalangan terbatas yang bisa mencicipi hidangan disana—dan kabarnya, koki-koki terbaik di negara ini kebanyakan bekerja disana. Anna masih sibuk mengamati bagian depan restoran dan interior di dindingnya yang cokelat keemasan ketika Justin menariknya masuk ke tempat itu begitu saja. Gadis itu tercekat, hendak membuka mulut untuk protes, namun pada detik pertama berada dalam restoran itu, dagunya justru hampir jatuh menghantam lantai berlapis karpet cokelat keemasan sewarna madu yang tebal dan empuk, dengan aroma yang menyenangkan. Gee, tempat ini benar-benar mewah. Anna menarik napas dengan perlahan pada detik kelima dia berada di tempat itu, apakah dia bahkan tidak sadar kalau dia menahan napasnya selama beberapa detik?

"Untuk apa kau membawaku kesini?!" Anna mendesis pada Justin ketika mereka telah duduk di salah satu kursi yang berhadapan, disekat oleh sebuah meja bulat dari kayu yang dipelitur halus. Ada aroma mahal dalam setiap jengkal benda yang berada di ruangan ini. "Kau tahu, aku tidak memiliki banyak uang. Aku tidak pergi bekerja selama beberapa hari."

"Bekerja?"

"Menarik pajak jalan." Anna mendengus, bisa merasakan wajahnya terbakar oleh rasa malu karena nada suara Justin yang bertanya terdengar begitu penasaran. Justin menyipitkan mata, tampak paham akan apa yang dimaksud Anna dan tertawa kecil setelahnya.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now