Chapter 7

746 67 1
                                    

"Hei!! Hei!! Astaga, gadis dada rata, tunggu aku!!!" Justin berteriak sambil berusaha mengejar langkah Anna yang kini berbelok menyusuri jalanan menuju tepi pedesaan dimana bangunan-bangunan kumuh dari kayu yang tampak rapuh dan tua berkumpul. Pria itu berdecak ketika Anna masih terus berjalan dengan tergesa tanpa sedikitpun berbalik atau memberi reaksi apapun padanya. Baiklah, mungkin gadis itu kelaparan, dan mungkin ini memang salahnya membangunkan Anna pada pagi-pagi buta hanya untuk melihat matahari terbit bersamanya—namun hell, tentu saja dia tidak punya niatan romantis di balik semua itu! Dia memang terbiasa pergi melihat matahari terbit di padang rumput tiap pagi, termasuk pada pagi dimana dia bertemu Anna di jalanan yang katanya 'milik' gadis itu tempo hari, dan untuk kali ini, dia sengaja ingin menyiksa gadis itu untuk ikut bersamanya—dengan kata lain mengerjai Anna. Akan tetapi, siapa yang menyangka jika justru sekarang dirinyalah yang harus tergesa-gesa mengikuti langkah Anna? Bagaimana juga gadis mungil seperti Anna memiliki langkah kaki yang sedemikian cepat hingga sulit terkejar oleh Justin yang notabene jauh lebih tinggi dari Anna?

"Hei!! Gadis dada rata!!" Justin berseru sambil masih berusaha mengejar langkah Anna, namun kedua kakinya langsung membeku di tempat saat Anna berbalik, dengan aura kelam yang melayang-layang di sekitarnya. Gadis itu menyipitkan matanya pada Justin sambil berteriak galak.

"Apakah kau bisa berhenti mengejek tubuhku, manusia homo?"

Justin mengerutkan kening. "Itu bukan ejekan. Itu kenyataan."

"Jika aku tidak begini laparnya, aku pasti sudah meninjumu hingga ke bulan." Anna menyatukan tangannya, kemudian membentuk suara derakan dari persendian jari-jari telunjuknya ketika gadis itu membentuk tangannya ke dalam sebuah kepalan. Gadis itu mendengus sebelum dia kembali berbalik dan bergerak.

"Kau mau kemana!?"

"Aku akan pergi makan. Kau pikir orang yang sedang kelaparan akan pergi kemana? Pergi ke toilet? Pergi ke supermarket? Idiot."

"Aku juga tahu kalau kau akan pergi makan." Justin memutar bola matanya. "Namun kau mau pergi kemana? Ke rumahmu? Gee, aku bahkan tidak menyangka kalau kau punya rumah."

"Setelah makan."

"Hm?" Justin mengangkat sebelah alis sambil memperlambat langkahnya ketika posisinya telah sejajar dengan langkah kaki Anna.

Anna menoleh dalam satu gerakan singkat, mendelik dengan penuh ancaman pada Justin. "Setelah makan, aku akan menghajarmu habis-habisan. Jadi, jika kau tidak ingin wajahmu babak belur, kau sebaiknya PERGI SEKARANGGGGG!!!"

"Kau? Menghajarku?" Justin mengerutkan keningnya, tampak tidak bisa memahami kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh Anna. "Menghajarku? Benarkah? Bokongmu bahkan harus menjadi korban pada pagi pertama kita bertemu."

"Shut up." Wajah Anna memerah. "Kenapa kau masih terus mengikutiku?!! Aku mau makan!!! Sebaiknya kau pulang dengan segera, atau pergilah kemana saja yang penting aku tidak perlu melihatmu!!!"

"Hei, beginikah sikapmu terhadap majikanmu?"

Anna menghentikan langkahnya, lantas menyipitkan matanya pada Justin. "Apakah kau lupa dimana kita berada sekarang, manusia homo?" Mendadak Anna bertanya dengan suara rendah, yang membuat Justin mendadak memasang ekspresi wajah penuh waspada. Jika Anna bertindak seperti itu, patut dicurigai. Mana ada suara peluit kereta api yang bisa berubah rendah kecuali tidak ada sesuatu yang mencurigakan disana.

"Hm?"

"KITA BERADA DI LUAR MANSION, DAN ITU ARTINYA AKU BUKAN PELAYANMU!!!!! SEKARANG CEPAT PERGI DARI TEMPAT INI SEKARANG SEBELUM AKU BENAR-BENAR MUAK DAN... DAN... uhuk—uhuk..." Anna terbatuk beberapa kali, membuat Justin mengerutkan kening mengamati tingkahnya yang abstrak. Batuk-batuk kecil gadis itu berlanjut hingga beberapa detik ke depan, sebelum akhirnya dia kembali menatap Justin dengan tatapan penuh ancaman. "Pergi. Dan. Jangan. Ikuti. Aku." desisnya dengan aura gelap membayang di belakangnya. Justin masih terdiam di tempatnya, mengerutkan kening dengan tangan terjejal di saku celananya ketika Anna berbalik. Anna mendesah, memukul lagi dadanya beberapa kali jika mungkin ia batuk-batuk lagi, dan merasa lega ketika Justin tidak mengikutinya. Bagus. Jika pria itu mengikutinya, dia mungkin akan kehabisan suara—meskipun kenyataannya dia sering sekali bicara nyaris berteriak pada Skandar dan Vivian, namun kedua temannya itu tidak pernah membuat merasa marah seperti yang Justin lakukan tiap kali berada di dekatnya. Anna menarik napas, mulai merasa mood nya akan membaik saat suara Justin terdengar tiba-tiba, serupa pisau yang menusuk tembus punggungnya.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang