Chapter 13

793 59 0
                                    

Anna duduk diam di atas ranjangnya, namun secara perlahan tangannya bergerak dan menyentuh keningnya yang sebelumnya disentuh oleh Justin. Apa? Ada apa dengannya? Mengapa dia merasa seperti ini? Dan mengapa Justin bersikap seperti itu? Anna menghembuskan napas—hal itu sungguh manis ketika Justin menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya, namun tindakan-tindakan lelaki itu justru semakin membuat Anna bingung. Justin bisa begitu manis, menyebalkan, ketus, dingin, sinis namun... seringkali dia bersikap begitu baik hati. Hal ini membuat Anna bingung. Apakah pria itu memiliki kepribadian ganda? Ah tidak—tidak. Tentu saja tidak. Mungkin Justin memang orang yang baik hati, hanya saja akibat sentuhan, tatapan dan suaranya yang begitu dingin, membuat orang lain termasuk dia tidak menyadari kebaikan hati pria itu. Yeah, diam-diam di sudut terdalam benaknya, Anna mengakui kalau Justin adalah lelaki yang baik, namun fakta bahwa Justin menyukainya? Anna merasa... sulit untuk percaya.

Anna menghembuskan napas perlahan. Apa yang terjadi dalam hidupnya? Mengapa hidupnya berputar sedemikian cepat dan tajam sejak dia memutuskan meninggalkan Edessa untuk meraih impiannya di Lyra? Apakah ini yang dinamakan takdir, atau ini hanyalah kesalahan yang seharusnya tidak pernah dia mulai. Bukankah seharusnya dia tetap tinggal di Edessa, menghadapi curamnya tebing yang menghadapi pantai, kemudian menghabiskan waktu untuk mencari rumput laut atau teripang? Bermain di atas pasir pantai dan melihat matahari terbenam di ujung cakrawala. Namun itu bukan kata hatinya. Itu bukan impiannya. Anna menarik napas, menurunkan tangannya dari kening dan menggenggam liontin kalung perak yang melingkari lehernya. Ibunya berkata agar dia mengikuti kata hatinya. Kata hatinya. Kata hatinya yang membawanya kemari, jadi ini pasti bukanlah sebuah kesalahan.

"Oh, there you are!!" sebuah suara membuat lamunan Anna tersentak, dan secara refleks dia langsung menarik selimut, membungkus tubuhnya hingga batas leher. Anna mengangkat sebelah alis, menatap pada gadis berambut cokelat kacang yang tersenyum lebar di ambang pintu. Gadis itu tampak riang, senang dan gerak-geriknya tanpa sadar mengingatkan Anna pada dirinya sendiri. Sebelum ibunya meninggal dunia, Anna adalah gadis yang sama riangnya seperti gadis itu. Kematian ibunya meninggalkan trauma dalam pikiran Anna, membuatnya bersikap keras dan menutupi diri dari siapapun, bahkan dari Skandar dan Vivian. Anna mengerjapkan matanya, berusaha mengingat-ingat siapa gadis berambut cokelat kacang itu. Ah ya, Rosaline Cromwell.

"Huh?"

"Kau sakit?" Rosaline melangkah mendekati ranjangnya, membuat wajah Anna memerah saat teringat bahwa dia hanya mengenakan pakaian dalam. Dengan refleks Anna membungkus selimut makin rapat ke tubuhnya, membuatnya terlihat demikian mungil dan melingkar seperti kepompong. "Pantas saja Justin tidak pulang ke rumahnya semalam. Rupanya kau benar-benar sakit." Anna memutar bola matanya. Rosaline tidak lagi memanggil Justin dengan sebutan My Juju yang menggelikan itu?

"Errr... hanya flu. Manusia hom—maksudku Justin hanya melebih-lebihkan. Aku baik-baik saja." Anna memaksakan senyum, meskipun wajahnya makin memerah. Ya ampun. Betapa memalukannya, dan lagi, bagaimana bisa Justin melepaskan pakaiannya dengan mudah seperti itu? Rasanya Anna ingin Bumi menelannya sekarang juga.

"Dia memang berlebihan, dia tidak cool seperti My Tommy." Rosaline terkekeh, membuat Anna terperangah dengan ekspresi khas orang yang terkejut akan kekonyolan Rosaline. Tommy? Panggilan konyol dari mana lagi itu? "Kau... Anna kan? Aku Rose Cromwell. Rosaline Cromwell."

"Yep." Anna meringis. "Anna Graham." Anna menjawab, namun terdiam saat Rosaline mengulurkan tangannya dan memeriksa suhu tubuh Anna.

"Aa, kau baik-baik saja." Rosaline berdecak senang. "Itu artinya kau akan datang ke pesta ulang tahun Emma York bukan? Emma adalah sepupu Cliff, dan kami semua akan datang kesana."

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang