Chapter 35

601 42 0
                                    

Rambut cokelat gelap panjang milik gadis itu berkibar-kibar dihempas oleh angin yang membawa aroma asin laut ketika dia berdiri tepat di geladak kapal besar. Mata birunya menatap ke arah lautan dengan sendu, seakan dia tengah meratapi sesuatu yang telah dia tinggalkan, yang berada nun jauh di belakangnya, dan bersedih untuk tempat yang akan segera dia datangi, yang berada nun jauh di depannya. Anna Graham menarik napas dalam-dalam dan memenuhi paru-parunya dengan bau khas laut yang telah bertahun-tahun tak pernah dihirupnya. Tangannya menggenggam seuntai kalung perak, berliontinkan tanda salib, dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Anna tersenyum muram, menyadari bahwa kalung ini adalah satu-satunya benda penuh kenangan yang dimilikinya, yang dia bawa dari Red Castle. Dia sengaja meninggalkan potret lukisan yang Justin buat untuk dirinya, bukan apa-apa, tapi dia hanya takut Justin merasa bahwa pelariannya ini bukanlah keinginannya, dan pada akhirnya laki-laki itu akan berpikir untuk mencarinya. Dia tidak bisa membiarkan Justin mencarinya, meskipun pelarian ini tentu saja bukan keinginannya. Ini semua untuk kebaikan mereka, kebaikan Alec, Bella, dan tentu saja, Justin juga Jean. Dia hanya harus pergi sejauh-jauhnya sampai segala situasinya aman—setidaknya itulah yang dikatakan Alec dan Jean ketika menemuinya siang tadi. Dia harus pergi dan lenyap, seolah-olah dia tidak pernah ada, harus berani berkorban agar semuanya tidak berlarut-larut dan bertambah buruk.

Anna menarik napas panjang, entah untuk yang keberapa kalinya. Sebelah tangannya yang menggenggam kalung pemberian Justin terangkat ke depan wajahnya. Mata birunya menatapi liontin kalung yang memantulkan sinar matahari senja. Matahari tenggelam. Petang. Anna bertanya-tanya, apakah Justin menunggunya disana? Apakah pria itu tengah berada di lantai teratas Azurithe, menunggu kedatangannya sambil menuangkan isi sebotol anggur merah ke dua buah gelas bening? Apakah pria itu akan kembali memainkan lagu itu—lagu yang indah yang diperdengarkan Justin kepadanya sebelum dia pergi menemui Alec? Ah entahlah. Anna tidak mau memikirkannya, karena hal itu hanya akan menyakitinya. Namun entah mengapa segala hal justru membuat pikiran Anna kembali melayang pada Justin. Desau angin seperti membawa suaranya, melantunkan sekumpulan nada piano yang menggema di dalam telinga Anna. Memejamkan mata sama sekali tidak membantu, karena suara lagu itu semakin menghantui pikirannya, seperti stereo yang diputar hingga volume maksimal di dalam batok kepalanya. Gadis itu membuka kedua matanya, lalu memandang pada kalung salib yang digenggamnya. Sialan. Sebuah keputusan yang salah, karena suara pria itu sekarang terdengar di telinganya. Begitu jelas, seolah-olah Justin tengah bicara di hadapannya. Kata-kata yang diucapkan Justin ketika pria itu memberikan kalung salib yang berada di tangannya sekarang.

Seseorang pernah berkata padaku bahwa kalung ini bisa meringankan rasa sakit atau rasa sedih. Kau cukup menggenggamnya dengan kuat dan berbisik pada Tuhan untuk menghilangkan rasa sakitnya. Dan Tuhan akan mengabulkan doamu.

Mengikuti dorongan hati, Anna menggenggam kalung itu, kuat, lalu dia berbisik pada Tuhan untuk menghilangkan rasa sakit yang menyebar dalam dadanya. Lama Anna menunggu agar rasa sakit itu segera menghilang, namun kenyataannya, rasa sakit itu tidak juga hilang, malah semakin bertambah. Sekujur tubuh Anna terasa sakit sekarang, seperti ada yang memilin urat syarafnya, menekan dagingnya dengan keras dan membuatnya ingin mengeluarkan air mata karenanya. Tapi tidak. Dia tidak boleh menangis disini. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak bisa menangis. Ah, sudahlah. Sejak dia melangkahkan kakinya keluar dari batas kota Lyra, bukankah sejak saat itu juga Justin telah menjadi sekeping masa lalu baginya? Yang namanya masa lalu, tidak akan pernah terulang lagi kan? Karena masa itu telah berlalu. Masa yang tidak mungkin untuk digapai lagi. Anna memejamkan matanya kuat-kuat, berusaha mencegah agar tak ada air mata yang keluar, dan berhasil. Namun tingkah anehnya itu memancing seorang pria paruh baya untuk mendekat.

"Apakah kau memiliki masalah, Nona?" Kepala Anna tersentak ke sumber suara begitu dia mendengar suara parau dari seseorang. Kening gadis itu berkerut selama beberapa saat, memperhatikan orang yang berdiri di dekatnya. Dari suaranya, Anna menduga bahwa orang di dekatnya ini pastilah baru berusia akhir 40-an atau awal 50-an. Tetapi Anna tidak bisa menerka dengan jelas, karena wajah laki-laki dihadapannya begitu keriput, seakan air telah diserap habis dari kulitnya. Rahangnya ditumbuhi oleh janggut yang tak terurus, sebagian diantaranya telah berwarna putih. Namun entah mengapa, Anna merasa bahwa laki-laki di dekatnya ini jauh dari kesan lemah. Laki-laki itu, meskipun telah keriput dengan kulit wajah yang terbakar sinar matahari, tampak tangguh, seperti menyimpan kekuatan tak terduga. Pakaiannya lusuh, namun senyumnya menyenangkan. Senyum itu sehangat matahari, mampu menulari orang lain untuk ikut tersenyum juga, tanpa harus memiliki alasan mengapa mesti tersenyum.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now