Chapter 1

4.4K 174 0
                                    

I come to this town to be a dancer, That is my dream. To be a dancer or ballerina."

"I don't care. You know where you belongs now. You should fulfill your destiny. Anna, listen, sometimes you need to follow your destiny, not your dream."

Prologue

Wanita berambut cokelat gelap itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi tempatnya berada sambil menghembuskan napas dengan perlahan. Dia mencoba tampak tenang, namun siapapun yang berada di ruangan itu dan melihat wajahnya tentu tahu bahwa wanita muda yang baru saja didaulat sebagai permaisuri dari Raja pemegang tahta yang sah di kerajaan Persea itu tengah merasa gugup, gelisah—atau lebih parahnya ketakutan. Ya, tentu saja, bagaimana dia tidak merasa gugup dan gelisah? Di malam-malam yang sunyi dengan udara yang seakan mampu membekukan batu-bata penyusun dan pembentuk kemegahan kastil tersebut, tengah terjadi sebuah pertempuran hebat antara pasukan pemberontak dengan pasukan pengawal kerajaan dengan sebab yang bahkan begitu sepele. Kepala wanita itu mendadak tersentak saat telinganya menangkap bunyi denting pedang—yang entah bagaimana bisa menembus ruangan tempatnya berada sekarang. Apakah mereka semakin mendekat?

"Yang Mulia!" Salah satu orang kepercayaannya, wanita paruh baya yang telah mengasuhnya semenjak dia hanyalah berstatus sebagai Puteri dari kerajaan Spectrapolis berjalan mendekatinya. Keringat dingin mengalir di dahi wanita itu saat sepasang mata sewarna batu opal menatapnya, tampak khawatir. "Anda harus segera pergi ke tempat yang aman sekarang."

Sang Ratu mengangkat sebelah tangannya, menghembuskan napas perlahan dan mengarahkan mata biru es-nya yang cantik pada perempuan paruh baya yang tampak amat sangat mengkhawatirkannya. "Aku akan tetap berada disini."

"Tapi mereka semakin mendekat. Kita harus segera berlindung ke tempat yang aman sebelum mereka tiba di ruangan ini dan mencelakai Yang Mulia!"

"Mereka? Mencelakaiku?" Kening Ratu muda itu berkerut dengan penuh rasa heran. "Maria, itu sama sekali tidak mungkin. Bagaimanapun, dia adalah kakakku. Kakak perempuanku. Dia tidak akan mencelakaiku kan? Dia mungkin merasa dengki dengan keputusan Raja Ferdinand untuk memilihku sebagai permaisurinya, namun dia tidak akan menyakitiku. Bagaimanapun, kami masih berbagi ikatan darah karena kami lahir dari orang tua yang sama."

"Justru karena itu," Maria menyela, wajahnya sungguh-sungguh diliputi kecemasan yang tak dapat disanksikan. "Karena yang memimpin penyerangan ini adalah Puteri Anatasia, karena beliau-lah yang mendalangi ini semua, sepatutnya Yang Mulia merasa khawatir. Anda harus tahu betapa Puteri Anatasia begitu menginginkan posisi Anda sebagai permaisuri Raja Ferdinand saat ini."

"Jika dia menginginkannya," sang Ratu menghembuskan napas. "Aku akan memberikannya pada kakakku. Aku sudah menduganya, seharusnya aku menolak permintaan Ferdinand untuk menjadi permaisurinya. Seharusnya aku..."

Ucapan wanita bermata biru es itu bahkan belum selesai ketika pintu ruangan tersebut didorong hingga terbuka dengan keras. Palang yang mengunci pintu itu dari dalam patah seketika akibat tenaga besar yang baru saja menghantam pintu, sementara engsel pintu yang tadinya kuat berderit, seakan-akan hendak lepas dari tempatnya akibat terjangan kuat yang begitu tiba-tiba itu.Seperti dikomando, sisa-sisa pasukan dan pengawal kerajaan yang berada di ruangan itu langsung membentuk formasi lingkaran untuk melindungi wanita bermata biru es yang terduduk di tengah formasi mereka. Mereka berdiri dengan tegang, mata menatap dengan tajam dan pedang terhunus di tangan mereka.

Udara terasa tebal dan panas oleh prasangka dan antisipasi saat seorang wanita dengan mantel bertudung hitam melangkah masuk ke dalam ruangan. Kakinya yang terbaluti oleh sepatu kaca bening menimbulkan suara yang lembut setiap kali kakinya melangkah dengan anggun di atas marmer yang melapisi lantai kastil. Namun segala sikap anggun yang ditunjukkannya berbanding terbalik dengan sebilah pedang panjang penuh tetesan darah yang berada di tangan kanannya. Wanita itu bahkan tidak mau repot-repot membuka tudung mantel yang menutupi wajahnya hingga dia berada tepat di hadapan Ratu—dengan hanya seorang pengawal sebagai pemisah diantara mereka.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang