bukan siti nurbaya

8.5K 49 4
                                    

Chapter Tujuh

Rana POV

Beberapa kali kumengganti posisi tidurku, sebentar menghadap tembok kamar sebelah kanan, lalu kemudian mutar lagi ke sebelah kiri, dan sesekali badanku telentang menatap langit-langit, tapi semuanya tak ada yang mampu membuatku terbuai dalam kenyamanan dan kelenaan. Malam terasa sangat panjang dan melelahkan. Akhirnya aku duduk dengan muka kusut yang teramat sangat. Ujung mataku sekilas mengintip jam weker di atas meja kecil di samping tempat tidur, waktu sekarang menunjukkan malam sudah merangkak menuju pagi.

“Ngubungin siapa ya dini hari begini?” Aku bicara pada diriku sendiri sambil memeluk boneka besar Winnie The Pooh erat-erat. Aku butuh seseorang yang bisa diajak bicara, sekedar melupakan sesaat kegelisahan yang bersemayam di hati. Sejak Bapak dan Ibu memberitahuku soal perjodohan itu, aku jadi punya semacam jadwal rutin tengah malam; galau. Kegelisahan ini dengan tega merenggut jam-jam istirahatku.

“Pooh, bicara dong, temenin Rana.” Sedikit merengek kucubit kedua pipi boneka kesayanganku. Wajahnya yang imut dan menggemaskan terentang tapi tetap tidak bisa membuatnya kunjung bicara. Badanku agak bergeser sedikit ke pinggir kasur sebelah kanan, tanganku meraih benda mungil nan ajaib yang tergeletak pasrah di ujung meja. Dengan gesit jempolku menelusuri list kontak di smartphone touch screen-ku, aku ingin menelpon salah satu sohib karibku.

 “Tapi kasihan, mereka pasti sedang nyenyak-nyenyaknya. Ah, aku selalu menyusahkan teman-temanku.” Desisku pelan tertunduk lemas, mengurungkan niat. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah nama baru di kontak smartphone. Aku merasa segar bugar kembali setelah menyadari ada penghuni baru di list kontak.

“Apa call kak Ari saja, ya?” Aku menimbang-nimbang sambil menyipit-nyipitkan mataku- itu tandanya kalau aku sedang berfikir keras -.- “Ah, tapi sungkan, masa aku ganggu tidurnya, emang aku ini siapanya? Terus kalau mau nelpon, emangnya mau ngomong apa?” Aku menentang keinginanku sendiri. “Hmmmm...apa bilang aja kalau aku beneren kena penyakit kuning, terus sekarang membutuhkan bantuannya?” Telunjuk kanan kuletakkan di kening, biar kelihatan seperti seorang pemikir ulung. “Ih, nggak banget deh! Ntar bener-bener kena penyakit itu gimana? Kualat lo!” Balasku lagi menolak keras skenario dusta yang baru kususun. Aku jadi bingung mendengar suara pro dan kontra yang keluar dari mulutku sendiri. Kalau begini terus aku bisa gila beneran ini.

‘Drrrttttt...Drtttt...Drtttt...’ Jantungku hampir saja copot karena tiba-tiba telpon genggamku bergetar. Yang membuatku kalut bukan getarannya, tapi nama si pemanggil yang tertera di layar.

“Aduh, angkat nggak ya?” nada suaraku lebih terdengar seperti orang ketakutan. Biji-biji keringat mendadak bermunculan di dahi dan ujung hidungku padahal udara dini hari ini terasa dingin. “Angkat, nggak, angkat, nggak, angkat...”

“Ya. Halo? Assalamu’alaikum.” Sapaku pelan menyapa seseorang di seberang sana. Aku berusaha bicara senormal mungkin, dan sebisa mungkin menekan perasaanku yang membuncah.

“Wa’alaikumsalam. Rana baik-baik saja, kan?” Tanyanya dengan nada khawatir di ujung telpon. Keningku berkerut. Maksudnya apa? Kalau orang menelpon biasanya tanya kabarnya gimana dengan bahasa yang halus dan tenang, bukan langsung nembak gitu. Atau jangan-jangan kita punya hubungan batin yang kuat ya, sampai ia tahu aku sedang galau maksimal? Ah, tapi tak mungkin! Aku menepis sendiri terkaanku.

“Alhamdulillah, baik-baik saja, Kak. Kakak sendiri gimana?” Tanyaku balas bertanya dengan nada sedikit akrab.

“Syukurlah kalau begitu, Kakak senang mendengarnya. Rana tak usah fikirkan, Kakak. Fikirkan saja kesehatan Rana. Oke?” Ucapnya dengan lembut, hampir saja aku melayang-layang mendengarnya. Lalu, sejak kapan ia membahasakan dirinya dengan sebutan Kakak di depanku, perasaan kemaren pagi ia cukup menyebut dirinya dengan subjek ‘saya’, yang sejujurnya menurutku terkesan sebagai ‘anak baik-baik’ yang notabene ia tinggal di ibu kota.

Bukan Siti NurbayaWhere stories live. Discover now