Cari-Cari Perhatian

8.2K 46 6
                                    

Chapter Dua Belas

Ravi POV

"Hiks... Hiks.. Hiks..." Suara isak tangis itu menghentikan langkahku memasuki kamar. Tangan kananku masih memegang gagang pintu, dan telingaku langsung siaga tiga mengenali si pemilik tangis itu. Sepertinya aku tidak asing dengan suaranya.

"Hmm..., Rav, lo tunggu disini ya. Biar gue cek dulu ke dalam." Ucap Siska.

Kulepaskan tanganku dari gagang pintu dan mundur sedikit ke belakang. Siska segera mengganti posisiku dan membiarkanku menunggu di daun pintu yang sudah ditutup rapat lagi.

Kutempelkan daun telingaku ke daun pintu, walaupun kutahu menguping pembicaraan orang lain bukanlah tindakan terpuji, tapi aku tidak bisa melawan rasa penasaran dan khawatir yang diam-diam menyelinap di hatiku.

"Na, lo kenapa?" Terdengar suara Siska. Dari nada suaranya, ia tampaknya juga mengkhawatirkan Rana.

Instingku benar, Rana menangis. Kenapa istriku menangis? Apakah gerangan yang membuatnya menangis tersedu-sedu seperti itu? Apa aku telah melakukan kesalahan yang menyakiti hatinya? Berbagai macam tanya muncul di benakku.

"Siska, hiks...hiks...hiks..." Rana seperti kehilangan kata-kata. Hanya airmata dan isaknya yang luruh sebagai jawaban.

"Rana, apa yang sebenarnya telah terjadi padamu?" Bisikku lirih pada diri sendiri. Kugigit bibir bawahku menahan perih yang tiba-tiba menghentak-hentak hatiku di setiap kali kudengar Rana tersedu.

"Tenangkan hatimu, Na. Sudah terlalu banyak airmata hari ini." Ucap Siska menenangkan Rana dengan lembut. Ia memeluk sahabatnya itu dan menepuk-nepuk punggungnya dengan pelan.

"Tenang ya. Gue siap jadi pendengar yang baik jika lo mau cerita." Sambungnya bijak. Tak ada respon dari Rana. Ia masih saja menangis.

Dan aku sendiri masih menguping dari balik pintu. Ingin rasanya aku masuk ke dalam, menenangkan Rana dalam pelukanku. Tapi, aku harus sedikit bersabar, jangan sampai langkah yang kuambil nanti malah semakin memperumit keadaan.

"Gue harus ngelakuin apa, Ka? Gue nggak bisa lupain kak Ari hiks...hiks..hiks..., melihatnya saja tadi bisa bikin gue lupa segala-galanya. Gue harus gimana?" Kata Rana terbata, lalu tangisnya pecah lagi.

Aku tersentak kaget mendengar pengakuan Rana. Tiba-tiba dadaku terasa sempit dan panas. Perasaanku kini sulit digambarkan; apakah aku sedih, marah, atau cemburu mendengar pengakuan istriku.

"Iya, gue bisa memaklumi, tapi lo nggak boleh terus-terusan begini dong, Na. Lo udah sah jadi istrinya Ravi." Siska menasehati. "Dengan menerima perjodohan ini, itu artinya lo nggak boleh lagi memikirkan laki-laki lain. Lo harus ingat itu, Na. Ini demi kebaikan lo juga." Sambung Siska dengan nada yang sangat lembut.

Tapi, lama-kelamaan nada suara Siska meninggi dan terkesan sedikit kesal karena Rana terus menangis dan ngotot dengan perasaannya pada laki-laki itu. Aku jadi tidak tega mendengarnya. Rana tidak boleh diperlakukan kasar seperti itu.

"Lo kok jadi marah-marah sama gue?" Ujar Rana disela isaknya.

"Karena gue nggak mau lo seperti ini terus-terusan. Hidup yang realistis saja, Na. Lo bukan seorang putri yang hidup di negeri dongeng, lalu menikah dengan pangeran tampan sang idaman. Ini hidup lo yang sekarang. Terima kenyataannya. Sekarang bukan saatnya lagi bermimpi dan berkhayal. Ngerti nggak, sih?" Bentak Siska, habis sudah kesabarannya.

"Hei, Nak Ravi? lagi ngapain disini?" Sepertinya suara itu milik bapak mertua, derap langkahnya terdengar mendekat ke arahku. Aku merasa seperti seseorang yang tertangkap basah sedang mencuri jambu oleh pemiliknya sendiri.

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang