Pertemuan Kedua

9.2K 48 2
                                    

Chapter Tiga

Author POV

Sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan rumah Rana. Bapak dan Ibu Rana yang sudah berdiri di ambang pintu berlari-lari kecil menyongsong tamu-tamu mereka yang baru saja turun dari mobil. Mereka kemudian saling berpelukan satu sama lain.

“Bu Theo, lama tidak berjumpa tapi Ibu masih tetap langsing dan awet muda.” Puji bu Anto setelah melepas peluk kangen dengan istri pak Theo.

“Ah, Bu Anto bisa aja.” Balas bu Theo tersipu malu. “Ibu juga masih tetap cantik sama seperti 20 tahun yang lalu.” Sambungnya balas memuji. Tawa renyah terbit dari keduanya diikuti tawa para suami yang ternyata ikut menguping pembicaraan para istri. Seorang pemuda berkacamata lensa bening yang berdiri di samping pak Theo hanya tersenyum kecil.

“Oh, iya, Bu, ini menantu saya, Cherry; istrinya Rava, anak pertama saya.” Kata Bu Theo memperkenalkan seorang perempuan muda nan anggun disampingnya. Dengan sopan sembari tersenyum manis wanita itu mengulurkan tangan kanannya ke bu Anto.

“Salam kenal, Tante, senang bertemu dengan anda.” Ujarnya dengan logat “Cinta Laura”. Bu Anto menganggukkan kepalanya dengan muka yang menyimpan tanda tanya.

“Bapak, Ibu dan semuanya, yuk, kita masuk ke dalam saja. Kita lanjutkan obrolannya disana.” Pak Anto menyela. Semua mengikuti ajakan pak Anto. Mereka berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Rava membawa sekeranjang oleh-oleh di tangannya dan si laki-laki berlensa bening itu berjalan dengan tongkat putih di tangan kanannya, lengan kirinya digamit pak Theo. Sedangkan kaum Ibu masih asyik mengobrol sambil jalan.

“Bu, nyari menantu bule dimana?” Bisik bu Anto tidak dapat menahan rasa penasarannya sesampainya mereka di ruang tamu.

“Oh....” bu Theo sedikit kaget dengan pertanyaan bu Anto tapi ia lalu tertawa kecil. “Cherry itu dulu teman kuliah Rava di Inggris. Alhamdulillah, mereka berjodoh dan akhirnya menikah tiga bulan lalu di London.” Terang bu Theo dengan lugas.

“Oh, gitu! Tapi bahasa Indonesianya sudah lumayan bagus ya. Cantik lagi anaknya.” Ucap bu Anto sambil curi-curi pandang ke Cherry yang duduk disamping ibu mertuanya. Seakan ia tahu sedang diperhatikan Cherry tersenyum manis sembari menganggukkan kepalanya. Bu Anto sangat kagum sekali melihat bola mata biru Cherry yang terlihat berbinar indah, kulit putihnya yang agak kemerahan, serta hidung mancungnya. Pak Anto yang melihat kelakuan istrinya yang sedikit norak hanya tersenyum geli.

“Dia sangat mencintai Rava, Bu Anto. Makanya sebelum menikah nak Cherry bela-belain belajar bahasa Indonesia, karena kata Rava kalau mau jadi istrinya Cherry harus bisa dulu bahasa Indonesia biar bisa nyambung dengan keluarga disini.” Ucap bu Theo dengan berbisik juga. Kelihatannya ia juga sangat bangga dengan menantunya itu.

Pak Anto yang menguping bisik-bisik istrinya dengan bu Theo kembali menyela, “Aduh, para Ibu ini dari tadi masih asyik ngobrol aja. Acaranya kapan, nih, kita mulai?”

“Maklumlah, Pak, udah lama tidak ketemu. Pas ketemu langsung nge-gosip.” Pak Theo menyahut dengan terkekeh-kekeh. Bu Anto dan Bu Theo hanya tersenyum malu.

“Bu, panggilin Rana.” Kali ini pak Anto yang berbisik di telinga istrinya. Bu Anto segera berdiri dari tempat duduknya. Sesaat kemudian ia sudah kembali ke ruang tamu dengan seorang gadis cantik yang membawa nampan berisi teh hangat dan makanan ringan.

“Oh, ini pasti Rana! Subhanallah.... cantik ya Pa.” Bu Theo tak dapat menutupi kekagumannya.

“Iya, Bu, Papa juga kaget, Rana sudah sebesar dan secantik ini.” Pak Theo menimpali kata-kata istrinya. Rana hanya diam menunduk. Tak berniat melihat siapa orang yang memujinya itu.

“Silahkan diminum tehnya, Pak, Bu.” Bu Anto mengalihkan pembicaraan menunjuk minuman yang baru saja dihidangkan Rana. “Nak Rava sama Nak Cherry juga, silahkan diminum tehnya, sebelum keburu dingin.” Sambungnya dengan ramah.

“Ravi tidak ditawarin nih, Bu?” Tanya seseorang dengan nada bercanda yang duduk diantara pak Theo dan Rava. Di bibirnya terbingkai sebuah senyum yang indah.

Rana yang tadi menunduk saja mendongakkan kepalanya mencari si pemilik suara yang lembut itu. Mata bulatnya menatap sosok tampan di depannya. Hati Rana luluh memandangi senyum pemuda berkacamata itu. Apa dia yang akan dijodohkan denganku? Bisik Rana dalam hati.

“Ah, tentu saja. Ayo Nak Ravi, silahkan diminum tehnya.” Bu Anto menyodorkan segelas teh manis hangat ke depan Ravi. Tangan Ravi menggapai-gapai gelas itu. Dengan bantuan ayahnya gelas itu kini sudah dalam genggaman Ravi. Ravi menyesap tehnya dengan tenang.

“Hmmm...teh buatan Tante memang paling nikmat. Ravi suka tehnya, Tante.” Ucapnya seraya meletakkan kembali gelas tehnya di meja dengan hati-hati. Senyumnya mengembang lagi. Manis sekali.

“Itu anak Tante yang buatin, adek bayi cantik kamu, 20 tahun yang lalu.” Balas bu Anto.

“Rana, Tan?” Muka Ravi tiba-tiba bersemu merah.

“Iya.” Sejurus kemudian bu Anto melirik ke Rana yang masih berdiri mematung dengan mengapit nampan di dadanya. Rana masih asyik menatap Ravi yang seakan tidak mempedulikan keberadaan dirinya, padahal mereka berhadapan, hanya dibatasi meja tamu.

“Rana, kenalin, ini nak Ravi, calon suamimu, Nak.” Sambung ibu.

“Calon suami?” Sahut Rana dan Ravi secara bersamaan. Keduanya sama-sama kaget.

“Wah! Kalau udah sejodoh memang begitu ya, Pak. Sukanya barengan.” Goda pak Theo mengerling ke pak Anto.

“Kompak.” Timpal pak Anto dengan senyum.

“Lihat, Pa, pipi calon menantu kita.” Bu Theo ikut-ikutan menunjuk pipi Rana yang bersemu merah jambu. Rana segera menutupi wajahnya dengan nampan.

Ha ha ha... Tawa membahana melihat Rana yang salah tingkah.

“Tuh...! pipi Ravi juga sama.” Bu Anto kini menunjuk ke wajah Ravi. Semua mata ikutan melihat ke arah yang ditunjuk bu Anto, lalu tawa mereka pecah lagi. Ravi tersenyum malu tanpa berusaha menutupi wajahnya seperti Rana.

“Berarti.... itu tandanya kita harus segera menikahkan mereka, kalau bisa lusa sudah akad nikah.” Pak Theo tiba-tiba memberi masukan yang langsung diiyakan semua orang kecuali Rana dan Ravi.

“Menikah? Lusa?” Ucap keduanya kembali berbarengan. Keduanya terperanjat kaget untuk kedua kalinya.

“Wah, wah, sekali lagi barengan gitu Rana dan Ravi bakal dapat gelas cantik, nih.” Seloroh Rava sambil tersenyum.

“Kok gelas? Bayi dong, kan bentar lagi mau nikah!” Bu Theo meralat ucapan Rava.

“Hah?” Rana dan Ravi tidak bisa lagi berkata-kata, mereka hanya bisa pasrah dengan keputusan kedua keluarga.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang