Mencuri Kesempatan

8.1K 42 2
                                    

Chapter Sepuluh

Author POV

“Mey, lo kemana aja? Gue cari-cari dari tadi. Rana mau ganti gaun lagi tuh. Buruan!” Siska tiba-tiba muncul di hadapan Memey. Mereka berpapasan di pintu masuk ke ruang utama dimana acara dihajat.

“Mmmm..., tadi gue kebelet pipis, lalu gue ketemu ini.” Balas Memey berbisik lalu tangannya menunjuk seseorang yang berdiri di belakangnya. Siska memiringkan kepalanya ke kiri untuk melihat orang yang dimaksud, karena tubuh Memey yang cukup lebar itu menutupi pandangannya.

“Oh, ada kak Ari?” Siska otomatis menundukkan kepala lalu mengangkatnya lagi, semacam salam penghormatan. Ari membalas salam khas Siska dengan senyuman dan anggukan. Sejurus kemudian Siska menarik lengan Memey sedikit menjauh dari Ari.

“Gue kelihatan cantik gak?” Siska merapikan rambut dan gaunnya di depan Memey. Sorot matanya menuntut jawaban ‘iya, lo cantik banget, Ka.’

“Cantik.” Ucap Memey polos. “Lo kenapa, Ka, tumben-tumbenanan pengen dibilang cantik?” Sambungnya dengan muka telmi.

“He-eh. Lagi pengen aja. Udah, ah! Rana udah nungguin lo tuh di kamar. Biar kak Ari jadi urusan gue. Sip?” Cerocos Siska dengan mata berbinar-binar seraya mengangkat kedua jempol tangan menunjuk dirinya. Memey mengerutkan dahi tanda tidak mengerti dengan perubahan sikap Siska yang mendadak centil.

“Oke, deh. Sip!” Jawab Memey akhirnya, lalu mereka berdua menghampiri Ari yang masih berdiri di dekat pintu masuk.

“Kak, gue ke dalam duluan ya. Kakak biar ditemenin Siska dulu. Nggak apa-apa, kan?” Tanya Memey memastikan.

“Ya, nggak apa-apa, silahkan.” Balas Ari singkat. Memey segera beranjak dari hadapan mereka.

“Pengantinnya sedang ganti gaun buat acara resepsi. Memey yang bertanggung jawab dengan tugas make-up dan pakaian.” Celetuk Siska ringan. “Oh, iya, bagaimana kalau kita makan dulu? Yuk!” Ajak Siska setengah memaksa untuk mengalihkan perhatian Ari yang masih memandangi kepergian Memey.

“Terima kasih, Sis. Kakak masih kenyang.” Tolaknya halus. Sorot matanya masih tertuju ke kamar yang dimasuki oleh Memey barusan.

“Bentar lagi Rana dan Memey selesai dandan, kok, Kak. Kita makan dulu, ya!?” Siska mengedipkan sebelah matanya. Tujuan dia untuk merayu, tapi kedipannya barusan lebih terkesan sebagai ancaman. Bahkan, kalau Ari masih tetap keukeuh tidak mau masuk, Siska berniat akan menggotongnya ke dalam.

“Oke, deh!” Akhirnya Ari pasrah dan menurut. Tiga sekawan yang benar-benar keras kepala. Ucapnya membatin. Di bibirnya tersirat segaris senyum yang sulit diartikan.

“Gitu, dong.” Ujar Siska sumringah. Kemudian keduanya menuju meja makan yang sudah terisi penuh dengan makanan pesta. “Kakak duduk aja, biar Siska yang ambilin buat Kakak. Oke?” Kata Siska sesampainya mereka disana.

“Nggak usah, Sis, biar Kakak aja yang ambil sendiri seperti tamu-tamu yang lain.” Ari menolak dengan lembut. Ia merasa tak nyaman diperlakukan lebih istimewa daripada tamu-tamu yang mayoritas orang penting. Memangnya aku siapa? Tanyanya dalam hati.

“Udah, duduk aja. Tumben-tumbenan, kan, gue bisa baik gini ke orang lain. Jangan membantah lagi. Gue marah, nih, Kak. Takut, dong!” Siska memanyunkan bibirnya. Pura-pura ngambek.

“Hehehe...iya, Kakak takut.” Balas Ari terkekeh dan tak mendebat lagi. Ia mengambil tempat duduk di pojokan. Posisinya sangat strategis untuk memantau kemunculan Rana dan Memey dari dalam kamar.

“Kak, silahkan dinikmati. Servis khusus dari Siska.” beberapa saat kemudian Siska sudah berdiri di hadapannya dan menyodorkan sepiring makan siang lengkap dengan minum dan buahnya.

“Terima kasih, Siska.” Balas Ari tersenyum seraya menerima makanannya. “Kakak merasa tersanjung sekali, tapi jadi tidak nyaman sama tamu-tamu yang lain. Apalagi Kakak hanya seorang tamu selundupan.” Sambungnya setengah berbisik saat Siska mengambil tempat duduk di sampingnya.

Siska membalasnya dengan senyuman. Wajahnya bersemu merah jambu. Dalam diam mereka menyantap makan siangnya masing-masing.

“Sis, kira-kira Memey masih lama nggak?” Tanya Ari menyibak keheningan yang tercipta beberapa saat yang lalu.

“Hmmm...paling 10 menit lagi keluar.” Ujar Siska seraya melirik jam yang melilit pergelangan tangan kirinya lalu balas menatap Ari.

“Oh, gitu ya?” Balas Ari tersenyum kecut.

Oh my God. Senyumnya manis banget. Pantesan Rana jatuh cinta setengah mati padanya. Puji Siska membatin. Matanya tak lepas memandang wajah Ari yang sudah sibuk kembali dengan sendok dan garpunya.

“Ada apa, Sis?” Ari memalingkan lagi wajahnya ke Siska, sedangkan tangannya dengan sigap meletakkan sendok dan garpu ke piring yang sudah kosong. Siska masih bungkam seribu bahasa dengan mata yang masih tertuju penuh ke wajah Ari.

Aih! Panggilan sayangnya untukku adalah ‘Sis’. Wuhahahaha...walaupun aku benci panggilan ini tapi aku senang kalau kak Ari yang memangggilnya. He is so special. Kata Siska membatin lagi.

“Ada yang salah ya? Apa kacamataku kelihatan banyak debunya?” Tanya Ari semakin heran seraya melepas kacamata "kamus ekonomi"-nya, memeriksanya sebentar dan membersihkannya dengan lap khusus.

Lihat! Dia tampak jauh lebih ganteng bila kacamata jengkol itu tak menutupi matanya. Siska menjerit histeris dalam hati. Kedua tangannya membekap mulutnya sendiri. Ia takut kalau jeritan itu terloncat dari mulutnya.

“Kamu kenapa, sih, Sis?” Ari terlihat semakin kebingungan. Buru-buru ia memakai kembali kacamata minusnya.

“Jangan, Kak.” Tanpa sadar Siska berteriak. Semua pasang mata beralih ke mereka berdua. Siska jadi salah tingkah dan membungkukkan badannya memohon maaf ke semua tamu undangan. Lalu ia berlari meninggalkan ruangan itu sambil menutup wajahnya dengan tangan. Ia malu sekali.

“Kamu kenapa, Sis? Ada apa?” Ari mengejarnya ke ruang tamu. Nadanya sedikit khawatir.

“Gue malu, Kak. Tadi gue bilang ‘jangan’ itu maksudnya Kak Ari jangan pakai kacamata itu lagi. Kakak kelihatan kurang keren pakai kacamata jengkol itu.” Ujar Siska masih menutup wajahnya.

“Ooooh, itu...hahaha...” Ari segera menyumpal mulutnya dengan tangan. “Ada-ada saja istilah yang kalian pakai untuk menamai mata keduaku ini. kemaren Memey menyebutnya ‘kacamata kamus ekonomi’, sekarang kamu bilang ‘kacamata jengkol’. Hehehe.. semuanya lucu! Kakak suka.” Ucapnya dengan senyum manis yang menggantung anggun di sudut bibirnya. Siska melepas penutup wajahnya. Ia tidak perlu malu karena Ari tidak tahu apa yang ia fikirkan tadi selain tentang kacamata.

“Kakak jadi pengen tahu Rana akan memberi nama apa untuk kacamata ini?” Ucap Ari bergumam. Pandangannya menerawang. Ia tidak tahu wajah orang yang berdiri di sampingnya mendadak mendung, dan sebentar lagi akan turun hujan dari kedua pipinya.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang