Utang Nyawa

25.6K 132 30
                                    

Chapter 1 (Jodoh Balas Budi)

Rana's POV

Aku menghela nafas dalam-dalam untuk menetralkan pikiranku yang sedang kacau balau. Lembaran-lembaran tissue bekas lap airmata dan ingusku bertebaran dimana-mana. Bantal-bantal dan selimut juga berserakan di lantai. Semua kekacauan ini adalah bentuk protesku kepada bapak dan ibu.

Jangan tanya bagaimana kondisiku sekarang. Bisa dibilang sama berantakannya dengan situasi kamarku saat ini. Wajahku pucat karena aku mogok makan dan mogok bicara selama 24 jam penuh, dengan rambut yang awut-awutan seakan tidak pernah disisir selama tujuh turunan, dan pastinya mataku juga sembab dan bengkak.

Sampai sekarang aku tak habis pikir kenapa aku harus mengalami situasi menyebalkan seperti ini. Aku kira kisah Siti Nurbaya hanya ada dalam kisah fiksi, tapi nyatanya saat ini aku dipaksa menikah dengan seseorang yang tidak kukenal sama sekali. Bahkan, ini lebih kejam dari kisah Siti Nurbaya.

Kemarin sore Ibu dan Bapak memberitahuku-tepatnya, memaksaku- bahwa dua hari lagi seseorang akan datang ke rumah kami untuk meminangku menjadi istrinya, aku diminta mempersiapkan diri lahir dan batin.

"Bu, Pak, Rana nggak bisa. Rana nggak mau. Rana belum kenal siapa laki-laki yang mau dijodohkan dengan Rana. Gimana Rana bisa siap lahir batin, coba?" Rengekku dengan muka melas bukan buatan.

"Itu hanya di awal saja. Lama-kelamaan kalian pasti bisa saling mengenal satu sama lain." sahut Ibu dengan lembut.

Sikap ibu kali ini benar-benar berbeda, kenapa ibu dan bapak tiba-tiba memaksaku untuk menikah muda? Padahal selama ini, yang kutahu ibu dan bapak selalu mewanti-wanti kami semua, anak-anaknya untuk tidak menikah sebelum merampungkan pendidikan minimal strata satu.

"Tapi, Bu, Rana kan masih semester 5, Rana pengen nyelesain kuliah dulu sebagaimana harapan Ibu dan Bapak." kataku mencoba membujuknya. "Kakak-kakak Rana semuanya selesai S1 dulu baru nikah, masa sekarang giliran Rana dipaksa nikah dini. Ini tidak adil, Bu, Pak." aku menyambung ucapanku seraya bersimpuh di kaki Ibu dan Bapak bergantian. Keduanya saling bertatapan lalu diam membisu memandangku.

"Maafkan kami, nak, kami terpaksa melakukan ini untuk membayar utang budi keluarga kita ke keluarga calon suami kamu." sahut Bapak memohon pengertianku. Aku lemas mendengarnya, sama sekali tidak menyangka akan jadi penebus utang keluargaku.

"Memang utangnya sebesar apa, Pak?" ujarku terduduk lemas di lantai. Ibu membelai rambutku dengan lembut.

"Utang nyawa, nak, tidak bisa dibayar dengan apapun kecuali dengan pengorbanan dan pengabdian." kali ini ibu kembali angkat suara. Aku mendongak menatap mata ibu dan bapak.

"Maksudnya?" tanyaku semakin tidak mengerti.

"Dulu sewaktu kamu masih dalam kandungan bapak sama ibu sedang dalam perjalanan pulang dari Bogor. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, menyebabkan jalan yang menurun menjadi sangat licin. Bapak tidak mengecek sebelumnya kalau rem mobilnya bermasalah, akhirnya mobil itu tidak bisa dikendalikan dan terperosok ke selokan besar di pinggir jalan. Tapi alhamdulillah, tidak berapa lama kemudian sebuah mobil berisi serombongan keluarga kecil datang menyelamatkan kita, termasuk mengantarkan ibumu ke rumah sakit terdekat karena pendarahan hebat, di saat itulah kamu lahir di usia kandungan yang baru menginjak 8 bulan." bapak menghela nafas panjang mengakhiri kisahnya. Matanya yang bulat menerawang jauh ke depan. Ibu juga diam tapi aku yakin fikirannya juga sedang berada di kejadian 20 tahun yang silam itu. Aku juga terhenyak beberapa saat, mungkin tanpa pertolongan Allah melalui mereka aku takkan pernah menghirup udara dunia.

"Tapi kenapa harus menikah, Pak? Bapak kan bisa saat itu membayarnya dengan uang." ucapku menyela kesenyapan yang terjadi.

"Mereka tidak butuh duit, nak, mereka cuma butuh kesiapan dan pengorbanan kamu." bapak menjawab dengan berat. Kalau diperhatikan bukan cuma aku saja yang sedang stress berat, kedua orang tuaku juga terlihat tertekan."Memang orang yang dijodohkan dengan Rana itu mau-mau aja dijodohkan sama Rana, gitu? Dia, kan laki-laki masa mau-mau aja dijodohin dengan orang yang belum pernah dikenal, memangnya dia gak bisa cari calon istri sendiri apa?" kataku berusaha mencari celah untuk menepis perjodohan ini. Tidak mudah bagiku menerima semua ini apapun alasannya.

"Bapak sama Ibu tidak mungkin menghentikan perjodohan ini karena kita pihak yang berutang. Ayolah, coba dulu mengenal calon suamimu, dari situ mungkin akan timbul rasa suka." ibu membelai rambutku dengan lembut, kepalaku jatuh dalam pangkuannya. Terkulai tak berdaya melawan takdir yang tidak bisa kuhindari.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang