Tinggal Kenangan

8.1K 34 7
                                    

Ari POV

Langkahku terhenti di depan rumah besar ini. Entah alasan apa yang harus kupakai kenapa aku harus berada sekarang di depan rumah Rana. Aku melongokkan kepala dari gerbang yang terkuak sedikit. Pekarangannya yang luas tampak disesaki oleh kenderaan beroda empat yang terparkir rapi di samping kanan dan kiri pekarangan. Seorang satpam keluar dari posnya di samping kiri gerbang dan berjalan mendekatiku.

"Ada yang bisa dibantu, Mas?" Sapanya ramah sembari tersenyum dengan tatapan mencurigai. Mungkin dimatanya aku terlihat seperti gelandangan jika dibandingkan dengan tamu undangan yang rata-rata membawa mobil mewah.

"Ehmmm..." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Oh, Mas ini juga tamu undangan ya? Mana kartu undangannya? Acaranya segera dimulai, lho." Tanyanya lagi sambil menengadahkan tangannya.

"Gini, Mas, saya ini teman kuliah Rana. Kemarin dia mengundang saya ke acara pernikahannya tapi secara lisan saja. Jadi, saya tidak memiliki kartu undangan. Kalau saya bisa bertemu dengan Rana, pasti ia akan mengiyakan perkataan saya ini." Jawabku berbohong. Satpam itu terlihat mengangguk-angguk faham.

"Kalau begitu bisa saya minta ditunjukkan kartu mahasiswanya?" Ia tidak kehabisan akal.

"Tentu saja. Ini, Pak." Aku mengangsurkan KTM-ku ke tangannya. Beberapa detik ia tampak mengamati benda pipih itu lalu mengembalikan sorot matanya ke wajahku.

"Kalau boleh tahu Mas ini dulunya pacar mbak Rana ya?" Tanyanya menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. Sepertinya satpam ini berbakat jadi wartawan infotainment. Satpam yang salah mengambil jalan hidup. Pikirku menebak-nebak.

"Ah, Bapak ini ada-ada saja. Saya hanya teman biasa." Jawabku tersipu malu.

"Mmm...begitu ya?" Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu ia mulai bercerita, "Mbak Rana itu gadis yang baik dan periang. Namun, nasibnya sedikit berbeda. Dia terpaksa dijodohkan dengan lelaki yang bukan pilihannya untuk melunasi utang kedua orangtuanya. Dan lebih menyedihkannya lagi, calon suaminya itu tidak bisa melihat, lho, Mas. Kasian sekali takdir jodohnya Mbak Rana." Ucapnya prihatin.

"Maksud Bapak, tunanetra?" Tanyaku kaget. Aku bisa membayangkan betapa hancurnya hati Rana dengan semua realita ini, dan betapa bodohnya aku yang tidak mempedulikan perasaan Rana selama ini.

"Iya." Jawabnya singkat menegaskan kata-katanya. "Jadi, siapapun Mas ini, kalau kedatangan Mas kesini untuk memperjuangkan cinta, segera masuk ke dalam sebelum akad dimulai. Mungkin mbak Rana juga sedang menunggu kedatangan Mas Ari untuk membebaskannya dari jerat perjodohan, seperti di pilem-pilem itu, lho, Mas." Lanjutnya dengan semangat yang berapi-api. Tangannya menunjuk rumah besar itu.

"Iya, Pak." Entah kekuatan dari mana aku segera berlari menuju ke dalam rumah. Sekarang aku sudah mantap dengan hati dan pilihanku apapun resiko yang harus kutanggung nantinya. Semoga semuanya belum terlambat.

"Sah...Sah...Sah..." Suara-suara itu sahut-menyahut terdengar dari ruangan sebelah. Dengan langkah memburu aku mendekati pintu ke ruang utama, tempat akad nikah berlangsung. Terlihat di dalam orang-orang sedang bersalaman dengan wajah penuh haru dan bahagia. Aku terlambat! Aku K.O. sebelum bertempur.

Kakiku tidak bisa lagi meneruskan langkahnya, bahkan untuk menopang tubuhku rasanya sudah tidak kuat. Harapan besar itu pupus sudah ketika Rana dan laki-laki yang duduk disampingnya dinyatakan sah sebagai suami istri oleh para saksi. Kenangan silam itu mencuat kembali. Aku baru ingat semuanya tadi malam, setelah tidak sengaja membuka lembaran kenanganku dengannya yang selama ini aku abaikan dan menganggapnya hanya sebuah kebetulan.

'Bruukkkk...' Buku-buku ditanganku terlepas dan sukses jatuh ke lantai. Untung perpustakaan sedang sepi sehingga tidak terlalu mengganggu ketenangan orang lain.

"Maaf, Kak, saya tidak sengaja." Ucapnya takut-takut sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, lalu tanpa diminta ia memunguti semua buku-buku yang tergeletak pasrah di lantai. "Ini, Kak." Sambungnya kemudian seraya menyodorkan buku-buku itu ke tanganku. Di sudut bibirnya ada senyum tulus yang manis tapi sama sekali tidak menarik minatku untuk berkenalan lebih lanjut.

"Terima kasih." Jawabku singkat dan datar, lalu melengos pergi dari hadapannya.

Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu,

Aku sedang berada di kantin melahap makan siangku sambil mengulang membaca diktat kuliah yang akan diujikan jam satu nanti. Mata dan mulutku bekerja tanpa saling mengganggu. Keduanya berjalan beriringan. Itu sudah menjadi kebiasaanku dari dulu.

"Kak, kita boleh duduk disini nggak?" Sapa seorang gadis dengan halus. Aku menghentikan aktivitasku sesaat. Lalu mengalihkan perhatian ke tiga orang gadis yang berdiri di sampingku. Wajah mereka penuh harap. Tapi bangku kosong di meja ini tinggal dua. Satu diduduki olehku, dan satu lagi kugunakan untuk meletakkan tas laptop dan buku-buku. Padahal masih banyak meja kosong di kantin ini yang juga memiliki empat bangku.

"Kalian pakai saja. Saya sudah selesai, kok." Kataku datar sambil membereskan barang-barangku.

"Kak, kita nggak bermaksud mengusir Kakak." Ucap yang satunya dengan nada sedikit kesal.

"Saya sudah kenyang. Oke, selamat santap siang." Kubergegas meninggalkan tempat itu, dan mencari tempat lain yang lebih tenang untuk membaca dan menghafal. Aku tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan orang-orang yang akan membuyarkan konsentrasi belajarku.

"Gila! So cool banget gayanya. Cowok dingin gitu masih disukain aja. Lo benar-benar gila, Na." Telingaku masih sempat menangkap sungutan kesal dari salah satu mereka, tapi tetap tidak mampu membuat hatiku untuk mempedulikan kata-katanya lebih lanjut.

Setelah itu masih banyak kejadian-kejadian aneh menimpaku bersama Rana dan kedua temannya, tapi kutanggapi dengan biasa saja.

"Kak Ari, kenapa ada disini?" Suara lembut itu menyentak lamunku.

"Oh, Memey." Jawabku tergeragap memandang wajah heran yang berdiri di depanku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengangkat tubuhku yang entah sedari kapan duduk menopang ke tembok. Kepalaku sedikit pusing. Memey membantuku dan membawaku duduk di kursi tamu. Lalu, dengan cekatan ia menuangkan air putih ke gelas dan memberikannya padaku.

"Minum, Kak." Perintahnya. "Kakak tampak pucat sekali. Kakak sakit ya?" Sambungnya dengan nada sedikit khawatir. Aku menggeleng pelan sembari memaksakan untuk tersenyum. Kuseruput air minumku dengan nikmat. Aku merasa sedikit tenang sekarang.

"Kenapa Kak Ari ada disini?" Ia mengulangi pertanyaannya.

"Kakak ingin melihat Rana." Jawabku jujur.

"Rana sudah menjadi istri orang." Balasnya dengan nada datar.

"Iya, Kakak tahu." Sekuat mungkin kumenahan perih yang masih bersarang di hatiku.

"Kakak tahu alamat rumah Rana dari siapa?" Memey kembali mengiterogasi.

"Kan, Memey yang kasih ke kakak." Ujarku pendek.

"Oh, iya ya, lupa!" Bibir Memey membentuk bulatan seraya menepuk dahinya. "Ya udah, masuk, yuk, kak. Tasyakuran nikahannya juga diadakan sekalian hari ini. Terus, nanti malam akan ada pesta kebunnya juga untuk keluarga dan teman-teman terdekat. Kita bisa bersenang-senang dan makan enak sepuas-puasnya." Memey melanjutkan ucapannya dengan semangat.

"Ah, nggak, Mey. Kakak pulang saja. Kakak masih ada tugas kuliah yang harus dikerjakan." Aku menolak halus ajakannya.

"Sesekali nggak jadi orang pintar dan rajin nggak rugi-rugi amat, kok. Ayo!" Ia menarik paksa tanganku. Dan lagi-lagi aku cuma bisa patuh pada keinginannya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang