Kado Spesial

8.2K 44 6
                                    

Chapter Delapan

Author POV

Tidak seperti biasanya Ravi tidak ke teras depan hari ini untuk menikmati suasana pagi yang sangat ia sukai, tapi ia punya cara lain untuk menikmatinya. Tanpa kesusahan Ravi membuka jendela kamar lebar-lebar karena ia sudah hafal betul seluk-beluk kamarnya, meskipun rumah ini baru dibeli beberapa tahun silam dan sering tidak ditempati. Menikmati pagi dari jendela juga tidak kalah mengasyikkan. Sesering mungkin ia menghirup udara pagi yang segar, ada bau kuntum bunga yang bermekaran dari taman samping, bercampur dengan bau daun-daun teh yang terhampar luas di sekitar area rumah Ravi. Sebuah perpaduan bau yang elegan.

‘Tok...Tok...Tok’ Ravi sedikit memutar kepalanya ke arah pintu.

“Ravi masih ingin sendiri, Ma.” Ravi menyahut malas tanpa beranjak dari tempat duduknya.

“Nak, bukalah pintunya, Mama dan Papa ingin bicara. Jangan kayak anak kecil lagi. Ayolah, kamu juga belum makan dari kemaren pagi. Nanti kamu sakit gimana?” Rayu bu Theo dari balik daun pintu.

“Ravi tidak akan keluar sebelum rencana perjodohan itu dibatalkan. Titik.” Ravi masih bersikeras dengan pendiriannya.

“Oke. Oke. Kamu keluar, dan semuanya akan beres.” Perintah pak Theo tegas, sedikit tak sabar. Ravi terdiam beberapa saat, kalau Papa sudah mengeluarkan nada seperti itu berarti bukan pertanda baik untuk melanjutkan aksi mogok. Ia harus segera keluar dari sarang persembunyian.

“Duduk.” Perintah Papa lagi setelah Ravi sampai di ruang keluarga. Tak ada bantahan yang keluar dari mulut Ravi selain menuruti perintah Papa.

“Jadi kamu tidak mau dijodohkan?” Todong Papa langsung. Ravi menganggukkan kepalanya.

“Kenapa?” Tanyanya singkat dengan nada sedikit marah.

“Papa, Ravi jangan dibentak-bentak.” Mama mengingatkan dengan suara pelan.

“Karena Ravi tidak mau menyusahkan hidup orang yang Ravi cintai.” Jawab Ravi tegas.

“Jadi masalahnya dimana? Kamu mencintai Rana.” Papa berusaha menekan kalimatnya agar amarah yang yang bersarang dalam dada tidak menyembur kemana-mana.

“Rana tidak mencintai Ravi. Ravi mencintai Rana hanya sebagai seorang adik perempuan yang sudah lama Ravi impikan.” Sahut Ravi menjelaskan.

“Kalian bisa mencobanya untuk saling mencintai lebih dari itu.” Papa menegaskan kembali.

“Tapi, Pa, perasaan bukanlah ujian percobaan. Ravi tidak mau mempermainkan perasaan Rana dan juga perasaan Ravi sendiri. Ravi tidak ingin menyakiti Rana.” Pendirian Ravi belum bisa digoyahkan oleh apapun.

“Jadi, kamu lebih mementingkan perasaan Rana daripada perasaan Papa sama Mama?” Bentak Papa. “Kamu tahu dimana muka Papa dan Mama ini ditaro di depan teman-teman Papa jikalau perjodohan ini dibatalkan, heh?” Amarah itu akhirnya meledak. Mama mengusap-ngusap pundak Papa, berusaha menenangkan. Lalu Mama berbalik menatap Ravi.

“Undangan sudah disebar sejak dua hari yang lalu. Pasti sangat tidak sopan, kan jika tiba-tiba kita memberi tahu mereka kalau pernikahan tidak jadi dilaksanakan. Teman-teman Papa kamu itu semua orang penting, mereka tidak punya waktu untuk bermain-main. Kita juga pasti tidak punya muka di hadapan keluarga Rana, kita yang menginginkan perjodohan ini, sangat tidak etis kalau kita membatalkannya. Kamu harus fikirkan akibatnya juga, Nak. Bisa, kan?” Ucap Mama lembut, kemudian ia pindah duduk di samping Ravi, menggenggam jemari Ravi dengan hangat.

“Kenapa kalian begitu menginginkan Ravi menikahi Rana?” Kata Ravi balik bertanya. Ia membalas genggaman tangan Mamanya. Ia selalu merasa sedikit tenang setelah memegang tangan yang halus itu.

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang