Janji Adalah Utang

10.5K 47 2
                                    

Chapter Dua

Author POV

"Rana, muka lo kenapa? Pucat banget. Lo sakit ya?" Siska meletakkan punggung tangan kanannya di keningku. Ia terlihat khawatir.

"Nggak kenapa-kenapa, Ka. Gue baik-baik aja, kok," Aku menepis tangan Siska dari jidatku dengan pelan. Sebuah senyum palsu kubingkai di kedua sudut bibirku. Aku berusaha mengembalikan semangat hidupku meski aku tidak tahu memulainya dari mana.

"Gue tetap ngerasa ada yang nggak beres ama lo, deh. nggak biasa-biasanya lo make tampang kusut kayak gini, kan?" Memey ikutan nimbrung.

"Gue lagi pusing banget. Semuanya buntu." Jawabku pasrah. Tiba-tiba rasanya air mataku ingin keluar lagi. Segera kututup wajahku dengan kedua tanganku.

"Katanya tadi nggak kenapa-kenapa? Kok, malah nangis?" Cetus Siska semakin khawatir.

"Apa, sih, masalah lo, Ra? Jangan disimpan sendiri, setidaknya lo bisa cerita ama kami." Siska semakin penasaran.

Ia membuka kedua tanganku agar wajahku terlihat. Aku menuruti keinginannya.

"Kalau ada masalah itu dibagi, Rana, kayak kita baru temenan kemaren sore aja." Memey mengingatkanku.

"Gue nggak tahu mau cerita dari bagian mana dulu." Imbuhku pelan sembari mengaduk-aduk jus jambu biji, minuman kesukaanku.

"Kalau lo nggak mau minum lagi, kasih gue aja, Na. Nggak tega gue liat minuman cuma diaduk-aduk gitu dari tadi." Celetuk Memey memandang penuh nafsu ke minumanku.

"Plakkk..." Sebuah jitakan lembut mendarat dengan mulus di kepala Memey.

"Aww, berasa juga ya jitakannya. Tidak pernah berubah." Ucap Memey  seraya mengelus-elus kepalanya.

"Lo juga, sih, gak ada empatinya ama teman." Sahut Siska sedikit kesal dengan kelakuan Memey yang hanya memikirkan perutnya saja.

"Ya, setidaknya kan gue bantu minum." Balas Memey santai.

"Iyakah?" Tangan kanan Siska sudah siap menjitak lagi kepala Memey.

"Maksud gue, bantu mikir." Memey segera meralat ucapannya sebelum jitakan Siska yang lumayan lembut itu menyentil saraf-saraf otaknya.

"Ya udah, deh, kalian lanjutin aja debat kusirnya, gue cabut duluan ya." Aku bangkit dari tempat dudukku dengan lesu.

"Lho...lho... mau kemana?" Kedua gadis itu mengejar langkahku yang terburu-buru meninggalkan kantin.

"Tungguin gue, dong!" Teriak Memey dengan sisa-sisa nafasnya. Ia tampak kesulitan berjalan cepat dengan bobot tubuhnya yang lumayan berisi.

Aku dan Siska menunggu Memey di bangku taman.

"Ah, akhirnya sampai juga." Memey mengambil tempat di bangku yang kami duduki. Desahan nafasnya masih terdengar memburu.

"Banyakin olahraga, Mey. Gemuk itu gampang kena penyakit." Ujarku menasehati.

"Sesekali hargai badan dan kesehatan lo juga, Mey, jangan nafsu makan aja terus yang diturutin. Ini demi kebaikan lo juga." Sambung Siska.

"Iya, Bu Rana, Bu Siska. Siap, laksanakan, tapi setelah lebaran ya mulainya." Jawab Memey dengan kalem.

"Tuh, kan, apa gue bilang? Tiap diajakin olahraga entar-entaran mulu." Sambut Siska semakin sengit.

"Ya, iya." Memey senyum malu-malu. "Sekarang udah diniatin banget, nih, buat olahraga biar kuat dan bugar kayak Siska." Jawab Memey lagi dengan santai.

Siska menyerah. Ia tidak ingin memperpanjang masalah olahraga lagi karena tidak ada faidahnya.

"Kembali ke lo, deh. Masalah lo apa, sih?" Siska mengalihkan perhatiannya padaku.

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang