Cinta Mulai Bersemi

8.2K 42 4
                                    

Ravi POV

Acara akad nikah akan segera dimulai. Aku duduk di tempat yang sudah dikhususkan untuk pengantin. Aku tak ingin menolak kemauan mereka lagi. Akan kuturuti semua permintaan keluargaku meski rasanya perkawinan ini seperti menikahi adik kandung sendiri. Bukankah perjodohan ini buah rengekanku yang kutabur dua puluh tahun yang lalu? Jadi aku sendiri yang harus menuainya.

Pak penghulu dan pegawai dari kantor urusan agama telah duduk di depanku, kini tinggal menunggu Rana yang belum kedengaran suaranya. Dimana dia? Jangan-jangan dia kabur dari perjodohan ini? Ah, kenapa aku jadi takut kalau ia benar-benar kabur? Apakah aku memang sangat tidak pantas didampingi seorang wanita? Apakah rupaku begitu jelek dan menakutkan? Apakah kebutaan ini akan selalu menjauhkanku dari perempuan? Beribu pertanyaan muncul dari lubuk hatiku. Aku benar-benar takut kalau Rana tidak akan pernah muncul di acara pernikahan ini, tapi sebisa mungkin aku bersikap tenang. Tiba-tiba keriuhan yang terjadi di ruangan ini sirna. Entah apa yang telah mengalihkan perhatian orang-orang ini dari obrolan-obrolan mereka tadi. Dua orang ibu-ibu yang duduk berdekatan denganku terdengar berbisik-bisik pelan.

“Ternyata anak bungsu pak Anto cantik banget ya.” Decaknya kagum. Aku bisa memastikan Rana-lah yang menjadi bahan obrolan mereka sekarang. Berarti Rana sudah berada di ruangan yang sama denganku. Aku tak bisa menampik senyum lega menyemburat di ujung bibirku.

“Iya. Sayang ya nikahnya sama orang buta. Biar ganteng kayak bintang pilem tapi kalau matanya buta, gue mah ogah.” Balas yang satunya dengan berbisik pula. Nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Kata-kata mereka sangat terekam jelas oleh indra dengarku.

Deg! Jantungku rasanya berhenti sejenak menunaikan tugasnya.

Aku mendengar deru nafas dari seseorang yang duduk disampingku setelah tiga puluh menit aku menanti kedatangannya. Begitu gugupnyakah ia sampai deru nafasnya terdengar jelas di telingaku? Namun aku pura-pura tidak ambil peduli dan tidak menanggapi kedatangannya yang sedikit terlambat dari acara. Dalam hati aku bersyukur ia tidak meninggalkanku sendiri di acara pernikahan ini. Tidak banyak basa-basi, akad segera dilakukan. Bapak Rana alias Bapak mertuaku mengambil tangan kananku dan beberapa saat telapak tangan kami saling menjabat. Beliau mengucapkan kalimat penyerahan kepadaku yang langsung kusambut dengan kalimat penerimaan. Kini, kami berdua telah sah sebagai pasangan suami istri. Rasanya seperti berada di negeri mimpi. Entahlah, apakah negeri mimpi itu akan berwujud nyata dalam kebahagiaan atau kesengsaraan, aku sendiri tak mampu menjawabnya.

Aku belum mengerti apa yang terjadi selanjutnya tiba-tiba aku mendengar suara isak tangis Rana, Mama, Ibu mertua dan wanita-wanita lain yang duduk di samping kiriku. Kenapa mereka menangis? Aku merasa jadi serba salah. Aku tidak ingin air mata yang keluar dari mata-mata bening itu karena menangisi aku? Menyesali keadaanku? Menyesali menikah denganku? Aku sadar lama-lama aku bisa gila karena terus berburuk sangka. Tapi keadaan ini memang memancing ranah sensitifku muncul ke permukaan.

Pak penghulu menyela acara tangis-tangisan itu dan menyuruh aku dan Rana saling bersalaman, mungkin maksud dia semacam pengumuman ke tamu undangan kalau kita sekarang sudah menjadi pasutri. Rana kembali menyeret tubuhnya ke sampingku. Aku diam tak bergeming saat ia mengambil jemari tangan kananku dan menempelkan telapak tangannya ke telapak tanganku. Aku sangat gugup sampai keluar keringat dingin. Tangan itu masih lembut seperti pertama kali aku menggenggam tangannya saat ia bayi. Saking gugupnya aku tak bisa merespon dengan baik genggaman tangannya.

“Cium tangannya sebagai tanda kamu siap berbakti untuk suami, sudah halal, kok.” Kata Bapak mertua menyela kebisuan yang terjadi di antara kami.

Aduh, hatiku semakin tak karuan ketika bibir tipis dan ujung hidungnya menyentuh kulit tanganku. Suatu sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Apakah statusku dan Rana sekarang telah mengubah rasa di hatiku? Aku sendiri belum tahu jawaban yang pasti. Namun, satu yang pasti, kini Rana adalah tanggung jawabku, Mma'mumku, yang harus kubimbing dan kucintai serta harus kuperlakukan dengan baik.

“Sekarang giliran Ravi yang mencium kening Rana, bahwa Ravi juga akan selalu menyayangi Rana sebagai istri dan ibu dari anak-anak kalian nanti.” Perintah Papa menimpali perkataan Bapak mertua tadi.

Aih! Apa-apan lagi maksudnya ini? mereka semua tak jemu mempermainkan perasaanku yang sedang meletup-letup ini. Mungkin mereka senang tiap kali melihatku salah tingkah dan gugup.

Sebenarnya aku cukup tahu dimana letak kening istriku dari tarikan nafasnya yang terdengar berat, tapi aku sedikit mengambil kesempatan di momen ini. Aku ingin memastikan apakah pipi itu juga masih sama lembutnya seperti 20 tahun lalu, sekalian aku ingin mempelajari gestur wajah istriku sendiri. What? Istri? Aku masih perlu banyak waktu untuk belajar beradaptasi dengan kata ini.

Aku meraba-raba wajahnya sedikit lama. Dari menyentuh pipinya aku baru yakin sekali kalau Rana sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Pipinya masih lembut, lebih lembut dari apa yang kuperkirakan dan sedikit chubby. Ingin rasanya aku mencubit pelan pipinya yang menggemaskan ini, tapi aku segera ingat tugas mulia yang dibebankan padaku, yaitu untuk mencium keningnya.

Dengan sedikit mengangkat dagunya, kudaratkan sebuah kecupan lembut di keningnya. Aku bisa merasakan respon Rana yang tegang, meski kutahu tegangan yang mengalir di tubuhku jauh lebih dahsyat.
Sulit sekali untuk menjelaskannya.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang