#22 Violence Again

1.3K 74 0
                                    

Hari itu mungkin menjadi hari yang paling aneh bagi Joseph. Pergi berdua dengan Marylou yang notabenenya sebelum ini adalah artis banyak skandal yang membuatnya naik darah. Dia belum yakin apakah yang dilakukannya ini murni berdasarkan cinta. Jantungnya berdetak lebih kencang—untuk yang ke sekian kalinya—berjalan bersama Mary. Tangannya meraba dadanya, merasakan detak itu yang keberadaannya bahkan terabaikan berkat kebersamaannya dengan wanita tersebut. Di sebelahnya, Marylou berjalan pelan memeluk tubuhnya, sedikit menggigil karena salju turun sangat lembut malam itu.

"Proyek ini segera berakhir," tukas Marylou. Kepalanya menoleh ke arah Jo yang tidak bergeming. Mendadak rahang pria itu mengeras seolah menyadari bahwa dengan berakhirnya proyek mereka, maka dia tak akan bisa pergi sesering ini dengan Mary. "Mungkin... aku akan pergi setelah premiere."

"Pergi?" Pada akhirnya Jo menoleh ke samping, memandang wanita berambut coklat bergelombang—masih diingat betul wangi rambut Mary sampai detik itu—yang berhasil menjungkir balikkan dunianya. "Pergi kemana?"

Sekali lagi Marylou menghela napas panjang. "Kau tidak berhak tahu."

Jo menghentikan langkahnya, lantas menarik lengan Mary agar ikut berhenti. Kedua matanya menyala berapi-api tampak tak sependapat dengan ucapan Mary. "Katakan padaku, kemana kau akan pergi?"

Mary mendesah pelan. Kepalanya tertunduk beberapa saat sebelum menengadah membalas tatapan mengintimidasi Jo. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, mengabaikan sentuhan lembut salju dingin yang membasahi mantel serta rambutnya.

"Kau hanyalah pemilik rumah produksi, Jo, bukan kekasihku."

Tangan Jo mencengkeram pergelangan tangan Mary sangat kuat. "Dengan mudahnya kau mengatakan itu setelah kau memaksakan diri masuk ke dalam kehidupanku. Aku berusaha memberi orang lain kesempatan masuk, sekarang kau menyia-nyiakannya?" geramnya di sela-sela giginya.

Marylou menanggapi nada tajam Jo dengan santai. Bola matanya melirik tangan Jo yang masih mencengkeram tangannya. "Bukankah kau bilang bahwa hidupmu memiliki rintangan bahaya?"

"Tapi dengan menghilangnya kau, aku tidak bisa melindungimu, Mary. Kau akan jauh dari lingkup pengawasanku dan mereka bisa membunuhmu."

"Kalau begitu..." Marylou menyeringai lebar, "buat saja berita bahwa aku sudah bertunangan dengan orang lain, menyebarnya melalui media seperti yang dilakukan oleh paparazzi selama ini. Dengan begitu Hilferdings bersaudara tidak akan mengejarku, kan?"

"Kau gila dan bodoh," balas Jo, nyaris dengan nada mengancam dan keberatan.

"Kenapa tidak kau pikirkan jalan keluarnya dengan mudah, Jo?" Marylou tersenyum lagi. "Kau terlalu abu-abu buatku. Kau tidak jelas. Masih ada bayangan Karen dalam matamu." Mata Mary terpejam beberapa saat, sebelum akhirnya terbuka dengan hati yang lebih mantap.

"Tapi kau tidak bisa begitu saja lari dariku, Mary."

"Karena apa? Apa dasarmu melindungiku? Kau tak pernah mengatakannya padaku. Kau sangat introvet, Jo. Bahkan padaku."

Lidah Jo seolah kelu tak dapat membalas kalimat Mary. Garis ekspresinya menunjukkan bahwa dia gamang. Ya, gamang karena tidak bisa memahami bagaimana perasaannya kini. Benar apa kata Justin bahwa Jo tipikal pria yang sulit mengucapkan kata cinta. Egonya terlalu tinggi.

"Mereka mengincarmu karena kau dekat denganku," tegas Jo, berkelit dari apa yang ingin disampaikan sesungguhnya. "Sebagai seorang pria, sudah tanggung jawabku melindungi wanita di dekatnya. Semua ini kesalahanku."

"Lalu, bagaimana dengan ucapan Justin waktu itu?" Mary menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia hanya anak kecil."

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now