#16 Pending Attack

1.8K 93 0
                                    

Semenjak kejadian tempo lalu di pub, Mary sedikit menanamkan kewaspadaannya menghadapi Jo. Tak biasanya, dia diam seribu kata tiap berdekatan dengan pria dingin itu. Di benaknya selalu bermunculan pertanyaan yang tidak ada ujungnya—atau tidak tahu harus dibawa kemana pertanyaan itu. Meskipun benaknya berperang berusaha mengatakan sebaliknya bahwa dia haruslah mencari tahu apa yang tengah terjadi.

Tidak lain halnya dengan Jo. Aneh, sepertinya. Mengapa dia mendadak memberikan sikap defensif di depan Mary tatkala wanita itu diganggu oleh pria asing yang nyaris mencelakakan mereka? Yang pasti, apapun itu, Jo melakukannya dengan tulus.

Melihat Jo berdiri menghadap sebuah bendungan dari jembatan papan—tempat lokasi shooting—, Mary berjalan dalam ketukan lambat menghampiri pria itu. Jo tengah asik mengisap kuat rokoknya, menghembuskan asapnya di udara seperti kepulan asap kereta api. Mendengar suara langkah kaki di belakang, Jo mencoba tidak terkesiap.

"Coba jelaskan padaku," tukas Mary sedikit jengah pada rahasia yang dibawa Jo. "Apa hubungannya kau dengan pria itu? Dan, kenapa kau seakan berusaha melindungiku darinya?" Mary menyandarkan tangannya pada birai kayu jembatan, memandang lekat Jo yang tak bergeming memberikan balasan.

Sampai akhirnya Jo tertawa kecil. Atau lebih tepatnya, tawa tanpa suara yang pendek. "Lebih baik kau tidak tahu. Itu membahayakan nyawamu."

"Kau menyeretku ke dalamnya. Secara tidak langsung, kau membawaku ke dalam bahaya."

Rahang Jo mengeras seketika. Rokok yang ada dalam apitan jarinya dijatuhkan ke bawah air bendungan. Matanya yang tajam berpautan dengan Mary, yang tetap mempertahankan raut wajah penasarannya.

"Marylou Jaymes Stewart," Jo mengeja nama panjang Mary sungguh-sungguh. Mendadak tatapan matanya berubah dari tatapan tajam menjadi lebih intens dan hangat. "Apa yang kuhadapi bukanlah sebuah permainan ular tangga di mana kau bisa beradu keberuntungan dari sebuah dadu, naik menuju ke atas, atau justru turun. Permainan yang kumainkan lebih keras, kasar, tidak manusiawi." Nadanya dipelankan. Meskipun begitu Mary tak gentar mendapatkan nada mengancam yang diberikan Jo kala itu. "Kau bisa mati jika ikut ke dalam permainan ini. Sebaiknya kau mundur teratur."

"Tidak mau." Mary menggeleng keras kepala. "Kau membuatku penasaran. Ijinkan aku ikut ke dalam permainanmu."

"Dasar keras kepala," Jo bersungut-sungut. "Pria yang saat itu mengganggumu di pub, namanya Steven Hilferdings. Anak tertua pewaris Hilferdings Group. Sejak dulu perusahaan mereka menjadi pesaing Bieber Company."

"Bukankah... setahuku... Cavren Kingdom satu-satunya pesaing bisnis keluargamu?"

Mendadak air muka Jo berubah drastis. Dia tampak sedang menyembunyikan sesuatu di depan Mary, namun tidak ingin memberitahu masalah yang satu itu. Rahasia intim yang bahkan tak boleh bocor kemana-mana.

"Hm," gumam Jo pendek. "Yang pasti Hilferdings Group sangat berambisi menguasai pasar dunia. Steven akan menyingkirkan siapapun yang menjadi penghalangnya." Matanya terpejam selama beberapa detik dengan telapak tangan yang menggenggam kuat, menahan marah. "Tunanganku berhasil diambil olehnya. Dia mengancam akan membunuh orangtua Karen apabila menolak ajakan menikah itu."

Mary menggigit bibir bawahnya kuat, sampai-sampai tidak menyadari akibat tancapan giginya itu, bibirnya memerah hampir berdarah. "Karen, tunanganmu." Dia mengangguk-angguk mengerti. Itulah mengapa dia mengatakan bahwa wanita tak dapat dipercayai. Dia ditinggal menikah dengan orang lain, pikir Mary masam. Dan entah mengapa, hatinya perih mendengar kenyataan bahwa Jo patah hati karena ditinggal tunangannya menikah dengan orang lain. Otomatis pria itu masih mencintainya. Oh, mengapa Mary harus peduli?

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now