#20 Three Minutes

1.5K 82 0
                                    

Sudah larut malam. Namun Jo tetap menekuri laptop dan dokumen-dokumen pentingnya di ruang kerja. Diam-diam, Mary mengawasi dari balik kaca jendela lebar. Padahal sudah berulang kali Mary membujuknya agar berhenti dan beristirahat. Well, sepertinya Mary gagal membujuk kali itu.

"Dasar gila kerja," desahnya frustrasi.

Menurutnya, menunggu seorang pria yang nyaris bersikap kasar dan dingin padanya adalah sesuatu yang salah. Dia tahu itu. Akan tetapi, hati kecilnya menyudutkan niatnya untuk tetap menunggu Jo. Maka, wanita itu duduk di depan ruang kerja Jo sambil membaca-baca majalah dan sesekali mengecek ponselnya. Sudah ada sekitar empat pesan masuk di ponselnya. Oh, dia bahkan mengabaikan pesan Caitlin.

Jam menunjukkan pukul 11.30 pm. Sekali lagi, Mary mengecek keadaan Jo di dalam. Desahan pelan terdengar dari mulutnya mendapati Jo yang tertidur di atas sofa masih dengan pakaian kerja lengkapnya. Batin Mary mendesaknya masuk ke dalam. Pikiran-pikiran asing memberondong masuk melalui celah di otaknya yang sedikit kosong. Sejenak dia memerhatikan Jo dari balik pintu. Sampai akhirnya dia menekatkan diri masuk ke dalam. Tangannya bergerak hendak menyentuh Jo, sekedar membangunkan pria itu dan menawarkan diri mengantarnya pulang—kebetulan dia membawa mobil, jadi rasanya untuk mengantar Jo menggunakan mobilnya bukanlah masalah. Tetapi diurungkan niatnya membangunkan Jo lantaran dia tidak tega melihat Jo yang telah terlelap nyenyak dengan mimpi pengantarnya.

Jo bergerak-gerak gelisah sedikit. Marylou berjalan meninggalkannya sekedar mengambil selimut tebal di salah satu ruang perlengkapan film. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Mary muncul lagi membawa satu selimut tebal berwarna biru tosca. Kemudian dia membentangkan selimut tersebut menutupi tubuh Jo. Mengapa dia sangat peduli? Oh, sejak lama memang Mary sedikit mengubah persepsinya terhadap pria berhati batu itu. Kira-kira... sejak Jo menciumnya. Ya. Sedrastis itukah perubahan perasaan Mary pada lelaki yang bahkan—sepertinya—masih mencintai tunangannya itu?

Mary bergerak ingin meninggalkan Jo tidur sendirian di ruang kerjanya sampai suara Jo menghentikan langkahnya. Ditambah sebelah tangan Jo yang meraih pergelangan tangan Mary. Sebelah alis Mary terangkat. Dia terkejut.

"Hey," sapa Jo membuka matanya. "Jangan pergi."

"Kau tertidur di sini. Pulanglah."

Bibir Jo terbungkam membentuk satu garis lurus yang rapat. "Tidak."

"Kalau begitu, tidur saja di sini. Mungkin, aku akan menemanimu. Aku bisa tidur di luar." Mary mengumbar senyum kecilnya. Kakinya bergerak hendak pergi, namun tangan Jo yang masih menggenggam tangan Mary menariknya untuk mendekat.

"Temani aku di sini saja," pintanya.

Mary tak membalas; dia tercenung mendengar permintaan Jo. "Mengapa?" bisiknya penasaran.

"Karena aku ingin kau yang menemaniku, Mary. Kemari." Jo bergeser sedikit, menyisakan tempat untuk Mary di sebelahnya. Sofa di dalam ruang kerja Jo berukuran besar, cukup muat digunakan dua orang berbaring.

Lamat-lamat, Mary melangkah semakin mendekat. Dia menggigit bibir bawahnya, menghujani Jo dengan pandangan skeptis.

"Kau aneh," tukas Mary sembari menyingkap selimut tersebut dan duduk di sebelah Jo, meragu. Beberapa detik dia mengalihkan kontak matanya, lebih tertarik memandangi lukisan abstrak yang dipajang di sudut ruangan.

"Aku aneh karena kau, Mary," Jo mengakui. "Berbaringlah di sebelahku."

Otomatis kepala Mary bergerak menoleh ke arahnya. "Kau pria yang tidak semudah itu dibaca pikirannya." Malu-malu, Mary membaringkan tubuhnya di sebelah Jo dan pria itu melingkarkan lengannya, memeluk Mary dengan erat di sebelahnya. Mary menaikkan selimut yang membungkus tubuh mereka hingga batas dagunya. Jo menghirup aroma rambut Mary, memejamkan mata beberapa detik.

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now