#5 Excuse Me

1.7K 106 0
                                    

Baru sekali patah hati saja, Justin sampai menghabiskan bergelas-gelas Scotch di pub untuk membiaskan sakit hatinya Sabtu malam. Pada gadis yang menarik dan menghempaskan hatinya semudah berkedip,juga pada sang sepupu dari ibunya yang berhasil mengalahkannya secara telak. Seolah ingin melegakan emosinya, dia bahkan tak mengacuhkan apapun di sekitarnya; seperti teguran orang-orang, marahan bartender, atau godaan wanita. Hatinya sungguh terpuruk mengingat penolakan Caitlin Stewart, gadis yang telah bertetangga dengannya—bahkan bersahabat dekat—sejak mereka lahir di dunia.

Kepala Justin mulai terasa berat sehingga membuatnya merosot di atas meja, dengan pipi menempel pada alas meja yang terbuat dari kaca tersebut. Matanya mulai berkunang-kunang, bahkan tak sanggup lagi melihat dengan baik. Bayangan yang tertangkap di lensa matanya bergerak tidak sinkron dan berubah jadi ganda. Hanya satu orang yang dikenalnya tengah mendekat ke arahnya. Pemuda berambut pirang pasir yang memiliki iris mata biru laut.

"Kenapa kau ke sini, Cods?" tanya Justin dalam bentuk gumaman tidak jelas, melihat sahabatnya, Cody, duduk di depannya dengan gelengan kepala prihatin.

"Pasti masalah wanita," terka Cody mendapati sahabat karibnya sudah limbung akibat bergelas-gelas Scotch diminum hingga tandas. Pemuda itu tahu betul kapan saatnya Justin depresi, marah, kesal, senang, dan sebagainya. Menghabiskan Scotch sebanyak itu sudah pasti menandakan bahwa sahabatnya mendapatkan masalah pelik menghadapi seorang wanita.

Seorang Casanova apabila jatuh cinta pada seorang wanita, pastilah tidak dapat menghindari terkamannya, jatuh berlutut seperti seorang budak pada ratu besar dan bersedia melakukan apa saja demi mendapatkan hati sang wanita. Seperti yang pernah terjadi pada Giocomo Casanova, seorang filosofis sekaligus petualang cinta dan penarik hati wanita yang pertama kalinya merasakan jatuh hati pada seorang wanita, justru dihempaskan begitu kasar, sakit, dan keras oleh wanita tersebut. Itulah yang kini dirasakan Justin. Gagal menarik hati gadis yang didambakannya, alih-alih jatuh ke tangan sepupunya sendiri.

"Hm." Justin hanya memberikan gumaman malas.

"Jangan khawatir. Bukankah masih ada Tamara, hm? Cheer up, Dude. Kau masih bisa memiliki bermilyar-milyar gadis sepertinya di dunia ini." Cody menepuk pundak Justin.

"Aku akan mencampakkan Tamara," lanjut Justin di tengah alam bawah sadarnya. Dia tertawa getir. "Aku akan mencampakkannya seperti yang kulakukan pada gadis-gadis lain. Secara menyakitkan tentunya."

Cody berdecak pelan menanggapi kalimat Justin yang begitu sarat akan dendam dan rasa kekecewaan yang mendarah daging. Tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa selain menepuk pundak Justin sekedar memberikan semangat dan dukungan.

Namun jauh dari semua itu, yang diinginkan Justin hanyalah cinta. Cinta tulus seorang wanita padanya.

***

Elsie's Point of View

"Apa ini?!"

Aku terhenyak kaget mendengar bentakan Dad yang duduk di balik meja kerja seperti biasa. Bibirku mengerucut mendapatkan respon kasar atas hasil latihanku dalam melakukan praktik kerja kantoran untuk membantu Nathan hari Minggu. Bukan hanya aku, Delvin dan Cleo memiliki tugas masing-masing. Sialnya, aku yang minim pengetahuan bisnis malah kena omel siang hari seperti ini.

"Berapa kali aku mengajarimu, Elsie? Di mana otakmu, huh?!" nadanya semakin meninggi. "Aku benar-benar kecewa. Lebih dari yang kau lakukan selama ini!"

"Sudah kukatakan aku tidak cocok di dunia bisnis," balasku enteng.

"Lalu di mana kecocokanmu, huh? Cleopatra sanggup menjadi juara kelas, murid teladan, dan melambungkan klan Cavren atas kecerdasannya! Delvin pun bisa meraih prestasi menjadi juara nasional! Mana prestasimu? Katakan di mana kecocokanmu?? Bar? Pub? Pesta liar??"

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang