#24 XOXO

1.4K 77 0
                                    

Steven Hilferdings tengah duduk termangu ditemani oleh wanita berambut pirang yang tak lama dinikahinya itu—atau lebih tepatnya, dinikahpaksakan. Pandangannya lurus ke depan, menikmati pemandangan bentang alam tempat dia menghabiskan waktunya untuk sementara. Garis wajahnya yang jahat menampilkan ekspresi kecewa mendengar pengakuan salah seorang adiknya yang kini berdiri tak jauh darinya. Dia berdecak pelan, menggeleng-gelengkan kepala tanda kekecewaannya.

"Kalau begitu, bawa saja gadis itu," tukas Steven setelah memikirkan keputusan matang-matang. Disundutkan puntung rokoknya pada asbak, sebelum akhirnya menoleh untuk bersipandang dengan adiknya. "Terus awasi pergerakannya. Jika tak ada yang mengawasinya, barulah bawa dia."

"Tapi... terlalu banyak orang yang melindunginya, Steve."

"Maksudmu, Jeff dan Justin?" Lagi-lagi Steven berdecak muak. "Kalau ada Justin, Jeff tak akan mendekati Elsie. Percayalah." Dia beranjak dari kursi yang didudukinya tadi, kemudian berjalan pelan penuh ketukan menghampiri adiknya. Suara langkah kaki yang ditimbulkan oleh sepatu fantofolnya begitu diperhitungkan. "Yang kau butuhkan hanyalah memancing Elsie agar jauh dari pengawasan Justin."

"Bagaimana bisa? Mereka sudah baikan."

"Lucas, untuk apa aku menyuruhmu bersekolah di tempat yang sama dengan anak si keparat itu selama tiga tahun kalau kau tidak tahu apapun mengenainya, hm?" Sebelah tangan Steven penepuk pundak Lucas pelan, seolah memberinya energi mengingat sesuatu yang bisa jadi senjata utama mereka menyerang musuh kali ini.

"Oh," Lucas pun teringat sesuatu. Sentuhan kakaknya seolah mengalirkan listrik statis dalam kepalanya yang membangkitkan satu ingatan. "Elsie sangat trauma pada mantan pacarnya." Senyum licik itu terumbar. Mata birunya menyerobot sepasang mata kakaknya yang senada.

"Jadi, kau tahu apa yang kau lakukan, brother?"

Senyuman licik Lucas menghilang, diganti dengan seringai lebarnya. "Tentu. Tinggal memancingnya muncul di depan Elsie, dan walla, trauma yang dialami gadis itu akan terputar lagi. Saat yang tepat membuatnya pisah dari pengawasan Justin."

Steven terkekeh panjang. Sungguh puas oleh detail rencana yang dijabarkan adiknya kini. Kedua bola matanya bersinar jahat. Di sudut sana, wanita bernama Karen itu tak dapat menampik rasa takut sekaligus ketidaksukaannya terhadap rencana yang sedang dilakukan suaminya. Ralat, suami yang menikahinya paksa. Dia berdiri menghampiri Steven dengan tatapan nanar.

"Cukup, Steve! Jangan bertindak lebih jauh lagi! Tidak cukupkah kau menghancurkan keluarga Bieber?!" teriaknya.

Dalam kecepatan nanodetik saja, tangan Steven melayang bebas menampar ke arah Karen. Membuat wanita malang itu jatuh terjerembab menghantam tembok. Suara rintih kesakitan terdengar dari bibirnya yang menampakkan setitik darah. Steven berjalan cepat menghampiri Karen, lalu mencengkeram rahang wanita itu kasar.

"Dengar ya, Jalang." Dihentaknya kepala Karen, memaksanya untuk membalas pandangannnya. "Aku akan membunuhmu kalau ada waktu. Kau sudah tak berguna bagiku." Steven tertawa sarkastis. Pikirannya mendadak dipenuhi oleh fantasi liar dengan obyek wanita lain. Wanita berambut coklat dengan iris mata abu-abu. Wanita dengan nama terang Marylou Jaymes Stewart. "Aku punya mainan baru yang akan menggantikanmu sebentar lagi."

Merasa terhina, Karen meludah tepat di wajah Steven. "Terkutuk kau, iblis!"

"Tetap saja seperti Karen yang dulu." Steven menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pantas Joseph tergila-gila padamu. Tapi... ups. Sekarang dia sudah melupakanmu, Sayang. Dia berhasil mengganti posisimu di hatinya dengan seorang aktris profesional yang akan kurebut sebentar lagi." Lagi-lagi, dia tertawa sarkastis. Dihentakkan kepala Karen kasar, membuat rambut wanita itu terurai menutupi wajahnya yang dipenuhi lebam samar. Tak ada yang dapat dilakukan Karen. Dia hanya bisa pasrah, mengalah, dan menunggu nasib buruk yang—kemungkinan saja—terjadi padanya.

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now