#23 Without You

1.5K 88 0
                                    

Marylou Stewart meremas kertas dalam genggamannya, membentuknya menjadi buntalan kecil yang lusuh, lantas membuangnya ke dalam tong sampah. Itu adalah surat kontrak perjanjian proyek film di rumah produksi Joseph yang pernah ditanda tanganinya. Benaknya berusaha menenangkan diri, menghiburnya, meskipun dia merasa bersalah telah mengucapkan hal yang tak pantas untuk Jo. Untuk beberapa detik, Mary menutup mata; pikirannya saling berspekulasi, saling menyalahkan, dan saling mendukung keputusan Mary.

"Jadi, kau sudah bicara pada produsermu kalau kau akan pergi usai premiere?" suara sopran Caitlin memecah konsentrasinya, membuat Mary seketika membuka mata dan tertegun.

"Ya," bisik Mary sendu. "Aku rasa... aku tak akan lagi menjamah dunia hiburan seperti yang pernah kukatakan padamu."

"Kau pembual, Mary." Caitlin memutar bola matanya jengah. "Kau kira aku tidak tahu bahwa kau mulai menaruh hati pada Joseph Bieber?"

Kepala Marylou tertunduk lesu. Terlebih karena dia mencerna dalam-dalam ucapan Caitlin. Membuatnya berpikir dua kali meninggalkan Kensington demi orang yang tak pernah dicintainya.

"Tapi aku harus. Karena aku harus."

Mendengar balasan kakaknya, Caitlin mendesah kesal, "Itu cuplikan dialog naskah Albert Camus. Kau sedang mempermainkanku, eh?"

"Tidak, Cait. Kali ini aku serius dan tidak sedang menjahilimu." Marylou memejamkan matanya, menggelengkan kepala beberapa kali dalam gerakan lamban. "Ya. Aku memang berniat berhenti dari duniaku, seperti yang diminta oleh Peter. Pikirkan masa depanmu jika aku menikahinya. Kau hidup berkecukupan."

Suara ngeongan kucing Norwegian Forest Caitlin terdengar samar. Hewan berbulu coklat lembut tersebut menggesek-gesekkan tubuhnya di bawah kaki Marylou. Tampaknya kucing itu pun dapat mengerti bagaimana kegamangan yang dirasakan oleh Mary. Andai saja dia dapat bicara, dia pasti mencegah Mary bertindak bodoh dengan meninggalkan Jo, pria yang jelas-jelas dicintainya, dan lari pada pria lain yang tak dicintainya.

"Kalau yang ada dalam pikiranmu adalah materi," Caitlin mulai kehilangan kesabarannya menghadapi pola pikir Mary yang cenderung pasif dan sulit ditebak, "maka menikahlah dengan Jo. Bukankah dia lebih kaya daripada Peter??"

"Demi Tuhan, Caitlin, mana balas budimu pada Peter yang selama ini membantu kita? Bukankah sebelum meninggal, Mom berpesan padaku bahwa aku diharuskan memilih Peter menjadi pengantinku nanti??"

Sepasang alis Caitlin bertautan. Oh, memang dia tak ingin terlibat perdebatan dengan kakaknya karena dia yakin, dia pasti kalah. Mary paling anti diajak berdebat. Wanita itu terlalu naif. Menghentakkan kaki, Caitlin beranjak meninggalkan kakaknya. Sebelum dia menghilang di balik pintu, dia berkata pelan, nyaris seperti bisikan yang dipanjang-panjangkan.

"Mary, bukankah kau juga ingat pesan Dad bahwa cinta tidak boleh dipaksa? Biarkanlah cinta mengantarmu pada pria yang tepat bagimu. Sekali-kali, imbangi persepsi Mom dengan persepsi Dad. Selamat pagi." Dan dia melanjutkan langkahnya, melimbai menjauhi ruang keluarga di mana Mary tetap tak bergeming di tempatnya seperti pahatan patung lilin di Madam Tussauds.

Kali ini, Mary benar-benar dihempaskan oleh dilemanya. Dia mendesah frustrasi seraya membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya.

***

Justin's Point of View

Good. Karena kejadian malam selasa lalu, dengan terpaksa aku membiarkan Jazmyn menghubungi dokter Walter lagi. Lihatlah aku sekarang, duduk di atas bangkar rumah sakit tempatnya praktek, menunggu khotbah serta kuliah-kuliahannya.

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang