#21 Unpredictable

1.5K 83 0
                                    

Elsie's Point of View

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dengan mulut ternganga seperti orang idiot. Benakku berseru-seru seperti orang gila dalam kepalaku sedangkan sudut pikiranku yang lain berdecak mencemooh. Sial. Aku benar-benar dijebak oleh Incubus.

Senyum culas Justin terbentuk lagi, lebih seperti senyuman kemenangan. Aku mendesah pelan sebelum akhirnya mengangguk putus asa. Dia berdiri sembari mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangannya itu—tampaknya gerakan yang kuberikan sangat malas dan tidak berdaya.

Kami berjalan masih dengan tangan yang bergandengan. Sejenak kuamati bagaimana caranya menggandengku.Begitu menjaga, sarat akan tindakan tak mau kehilangan dan berbagi. Aku menggigir bibir tanpa mengalihkan kontak mataku darinya. Aku yakin bahwa diasanggup menjagaku. Tidak hanya menjagaku secara fisik, melainkan hati juga. Apakah dia tidak akan menyakitiku? Dan, mengapa semudah ini aku mempercayakan segalanya pada seorang pemuda yang sebelumnya berhasrat ingin membunuh keluargaku? Bahkan bertindak kasar padaku? Hanya hati yang dapat menjawabnya. Aku tak kuasa memberikan penjelasan, betapa aku mencintainya. Cinta? Bahkan sebelum ini aku tidak mengenal cinta. Aku menganggap bahwa cinta hanyalah khayalan semata. Khayalan orang gila.

Dapur Justin tampak bersih. Furniturnya lengkap, mengilap, khas buatan Eropa. Aku mengedarkan pandangan ke seantero tempat, tidak mengerti apa yang akan kukerjakan di sini. Kedua tanganku kumasukkan ke dalam saku jaketku. Aku mengendus-endus udara mencium bau aromaterapi.

"Pelayanmu sangat rajin," pujiku.

"Oh, tidak. Ibuku lebih senang membersihkan rumah ini seorang diri jika pulang."

Alisku bertautan terkejut. "Whoa. Ibumu tipikal ibu rumah tangga yang sempurna." Mendadak ada sesuatu yang menohok hatiku. Bibirku melengkung ke bawah. Pikiran asing masuk berentetan di dalam kepalaku. Ada yang mengingatkanku pada sosok ibu seperti apa yang kumiliki. Batinku berteriak lantang menyebutkan bahwa ibuku seorang lesbian. Lesbian yang hanya menikahi seorang pria demi menutupi jati dirinya. Sudut pikiranku berdecak mengasihani. Belum-belum air mataku berlinangan mengingat hal itu.

"Els, mengapa kau menangis?" Justin menyadari keberadaan air mata itu. Aku menundukkan kepala dan mengerjapkan mataku berharap air matanya tak jadi menetes. Sialnya, Justin menaikkan daguku sehingga sepasang mataku berpautan dengan kedua mata indahnya.

"Kau beruntung memiliki Patricia, Justin," bisikku.

Dia tak bergeming. Hanya tatapan intens yang tak berubah yang diberikannya untukku. "Ibuku adalah ibumu juga." Dia mengelus sebelah pipiku, memberikan senyuman yang kusuka. "Sudah jangan sedih. Jangan-jangan ini hanya alasanmu agar kau terbebas dari tantanganku? Hm?"

Aku tersenyum kecil dan menggelengkan kepalaku. Kubalikkan badanku menghadap pantri. Sekali lagi aku menjatuhkan pandangan pada alat-alat di dapur. Aku tidak tahu bagaimana menggunakannya. Yang kutahu hanya peralatan dasar. Sementara Justin sibuk mengambil beberapa bahan dari dalam kulkas, aku menghidupkan kompor. Ya,setidaknya aku bisa menghidupkan kompor. Juga memanaskan minyak. Poin tambahan untukku.

Bibirku mengerucut melihat barisan bahan masakan yang tak kuketahui nama-namanya. Kuambil saja bahan-bahan itu secara acak. Lantas, memotongnya di atas talenan.

"Apa yang ingin kau buat, Els?" tanya Justin sedikit curiga melihat caraku memotong bahan-bahan itu. Dahinya berkerut aneh.

"Aku ingin membuat..." Kugigit lidahku beberapa menit. "Sudahlah. Lihat saja nanti hasilnya." Tanpa memedulikan tatapan skeptisnya, langsung saja kumasukkan bahan-bahan yang sudah kucincang ke dalam teflon. Terdengar bunyi keras dari sana yang otomatis membuatku menjerit kaget. Oh, sial!

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang