Tilburg

593 72 31
                                    

Juli, 2022

"I don't wanna run ! It's tiring !" protes Jati pada Ayahnya. Hawa hanya mengintip dari balik majalah Architectural Digest yang ia baca. Adam sedang bernegosiasi dengan anak mereka. "Nanti kalau capek, Jati naik ke punggung Ayah. Digendong sama Ayah," jelas suaminya dengan tenang.

"NO NO, het is vermoeiend." anaknya mencampur kalimat protesnya dengan Bahasa Belanda.

"Jati, laten we andere kinderen helpen."

Hawa menarik napas pelan mendengar bujukan Adam yang terlalu terburu - buru. Anak mereka belum bisa mengerti benar konsep charity, bocah yang belum genap tiga tahun itu pasti kesulitan memahami tujuan lari untuk gerakan berbagi, membantu anak - anak refugee di seluruh dunia mendapat makanan, air bersih, shelter, dan akses kesehatan yang layak. Pendekatan melatih empati, tidak cukup menarik dengan kalimat awal, "let's help other children." Tapi Hawa tidak mau turun tangan untuk kali ini. Biarkan suaminya yang memberi pemahaman pada Jati.

"Jati, hari ini Jati bisa makan ayam goreng, bisa baca buku, bisa ke sekolah, bisa mandi berendam lama - lama. Tapi ada banyak anak lain yang nggak makan, nggak punya rumah, nggak sekolah. Jati wil ze niet helpen?" Adam menjelaskan sepelan mungkin kata per kata, berharap anaknya menangkap sedikit.

Jati justru fokus membolak balik halaman bukunya. "Mommy, let's hug rabbit besok." katanya pada Hawa begitu terhenti di halaman yang menampilkan gambar kelinci

"Ask Ayah," jawab Hawa.

"Yah, let's go to farm."

"Besok kita mau pergi lari nak. Jati harus ikut ya ?"

"No No Ayah, I wanna hug rabbit." Jati sudah memasang muka marah dan sebentar lagi tangisannya akan meledak.

"MOMMY," rengek Jati memeluk Hawa.

Pada akhirnya perempuan itu harus turun tangan. Ia melirik tegas suaminya, Adam menggeleng pasrah dan meminta tolong tanpa suara. "Jati, Darwin besok juga ikut lari sama Mama Papanya. Het is leuk om samen te rennen."

"Oh ya ? waar rennen we ? Ver ?" Jati penasaran mempertanyakan akan lari dimana, apakah jauh dari rumah mereka.

"Tilburg. Besok naik mobil Ayah sama - sama ya buat kesana, boleh nggak Darwin sama Papa Mamanya ikut naik mobil Ayah ?"

"Boleh, besok ajak Darwin beli eskrim juga ya Mommy." Jati dengan mudahnya mengiyakan ajakan dan usul Mommynya. Anak laki - laki itu tidak takut lagi akan rasa lelah, dan rela berbagi secara sederhana untuk teman dekatnya, anak tetangga yang biasa ia temui dan menemainya main bola di taman dekat rumah.

"Ijs kopen? wie betaalt?" tanya Hawa dengan mimik muka serius. Siapa yang akan bayar es krim itu ? tanpa berpikir panjang, anak lelaki itu turun dari pangkuan Hawa dan memeluk ayahnya.

"AYAAAAAHHHHHH," teriaknya bangga.

Adam menciumi pipi Jati dengan gemas, "Anaknya siapa sih iniiiiiiii."

"MOMMY, MOMMY, MOMMY," kata Jati penuh semangat.

Adam mengangkat tinggi - tinggi tubuh anaknya, mengayun - ayun di udara. "Precies negen uur. Tijd voor Jati om te slapen. Goedenavond brandweerlieden," ucap Hawa mengingatkan, sudah jam sembilan malam. Saatnya Jati, sang jagoan kecil mereka yang belakangan terakhir ingin jadi pemadam kebakaran untuk tidur.

"Jati wil postbode worden," Jati mengumumkan cita - cita barunya, ingin jadi tukang pos.

"Loh ganti lagi cita - citanya ?" tanya Adam sambil menggendong anaknya menuju kamar tidur. Hari ini gilirannya membacakan serial dua puluh lima nabi pada anaknya. Malam ini mereka akan sampai di kisah Nabi Yusuf.

SETARAWhere stories live. Discover now