Broei Vegan, Oosterkade

631 76 43
                                    

April 2023

Dutch people always cycling, dan menurut Adam mereka juga pengendara yang handal. Tak jarang ia melihat seorang ayah yang mentraining anaknya bersepeda di jalan raya, memegangi tas anaknya dengan satu tangan untuk memandu menyusuri jalur sepeda yang rapi dan aman di Belanda. Seperti yang ia saksikan di depan matanya kali ini. Seorang pria bersepeda, sebelah tangannya memegang setir, tapi satu tangannya yang lain memegangi tas anaknya yang juga sama - sama mengendarai sepeda disampingnya. Tapi pria itu tetap bisa mengontrol kecepatan dan keseimbangan secara stabil. Tidak oleng atau melaju terlalu kencang hingga membuat sang anak kelelahan mengikuti ritme kayuhannya.

Gambaran itu memancing memori soal Jati, kalau anaknya masih hidup Adam bisa bersepeda dengan anaknya. Ia menangis sepanjang mengayuh sepedanya menuju rumah dari arah kantor. Tadinya ia bermaksud melipir ke Broei, salah satu cafe restaurant vegan yang Hawa sukai, untuk membelikan istrinya banana bread, sepulang bekerja. Tapi ia butuh segera pulang dan memeluk istrinya saat ini juga. Adam ingin meminta maaf dan bercerita ke Hawa, bahwa ia mau waktu diputar kembali dan Jati akan lebih banyak ia ajak ngobrol dan main. Anak dan istrinya akan jadi prioritas lebih dari karir pekerjaan. Dia tidak akan terbuai dengan ambisi untuk menghujani keluarga kecilnya dengan fasilitas dan materi. Melainkan waktu berkualitas dan kenangan - kenangan manis berarti.

Begitu membuka pintu rumah, Adam menghirup aroma kue yang baru selesai di panggang. Istrinya tersenyum menyambutnya dari arah dapur, lalu sedetik kemudian berubah khawatir. "Sayang, hei kamu kenapa ?" tegur Hawa begitu melihat mata dan hidung Adam yang memerah. Lelaki itu langsung mendekap erat istrinya. Menangis tersedu sambil berkali - kali mengatakan maaf dan nama anaknya.

Hawa mengelus punggung suaminya, menenangkan Adam yang tiba - tiba saja rapuh. "It's okay, i'm here," ujar Hawa berkali - kali. Mereka berpelukan cukup lama. Sampai akhirnya Adam naik ke kamar tidur dan tidak mau turun lagi, bahkan untuk makan malam. Istrinya memberi waktu untuk mengolah kesedihannya tersebut. Hawa masak dan makan malam sendiri, lalu lanjut bekerja sebentar, menyelesaikan revisi minor pada tulisannya.

Setelahnya perempuan itu naik ke kamarnya, mengecek keadaan Adam. Suaminya tertidur dengan memeluk buku dongeng favorit Jati. Hawa mencoba melepaskan buku itu dan mengembalikannya ke laci pertama nakas di samping kiri ranjang. "Aku tahu nggak gampang jadi kamu Dam. Kamu nahan kesedihan dan berusaha kuat buat aku selama ini. Now my turn buat bantu ngatasin rasa kangen dan rasa bersalah kamu." Hawa mengelus kening dan pipi suaminya. Wajah bocah lelaki yang selalu tenang menghadapi amarahnya dari dulu, ternyata kini sudah punya satu kerutan halus di dahi dan ujung mata. "Capek ya Dam jadi nahkoda ? maaf ya."

Lelaki itu menggeliat, dan menyebut pelan beberapa nama di alam bawah sadarnya. "Wa, Jati mau eskrim."

"Iya, boleh. Makan dulu ya tapi."

Tidak ada tanggapan lagi, sebab memang suaminya sedang mengigau. Dalam tidur Adam, otaknya masih dipaksa memutar berbagai memori tentang Jati dan dirinya. "Sayang, bangun bentar. Makan yuk, nanti tidur lagi. Adam," bisik Hawa lirih di telinga lelaki itu.

"Dam," panggil Hawa sekali lagi.

Suaminya mulai membuka matanya pelan, dan terbatuk - batuk kemudian. Pandangan matanya berputar ke sekeliling kamar. "Jam berapa Mom ? udah subuh ? atau kamu bangunin aku buat tahajud ?"

"Baru jam sembilan malem, kamu tidur dua jam habis sholat isya'. Mau tahajudan dulu ? aku siapin makan ya di bawah. Panasin rawon."

"Mau peluk lagi." Adam merentangkan tangannya ke atas, ke arah istrinya.

"Nangis lagi ? nggak capek ? ayo sholat dulu habis itu makan. Baru boleh lanjut nangis. Ini itu karena kamu nahan terlalu lama, jadi emosinya ngumpul jadi satu. Pecah karena ada triggernya, lihat apa tadi ? lihat anak mirip Jati ?"

SETARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang