Kubuswoningen, Rotterdam

1.1K 92 56
                                    

Januari, 2018

Adam menjelaskan panjang lebar sambil memilah - milah dasi dari dalam lemari, "Form follows function, artinya konsep bangunan harus mentingin fungsi ruang bukannya estetika atau indah - indahnya aja, itu tuh cuma teori di buku - buku yang secara praktek, boleh aja nggak dipake sama masyarakat negara maju. Belanda sendiri punya banyak contoh bangunan kayak gitu. Yang 'artsy' banget tapi sebenernya nggak efisien, karna banyak ruang yang nggak bisa kepake,"

"Kayak kubuswoningen ?" balas Hawa.

"Hmm,"

Hawa makin semangat menanggapi, padahal sang suami sedang sibuk menyelesaikan packing untuk perjalanan dinas pertamanya keluar Belanda. "Nah itu tuh, privilege jadi arsitek di sini. Bisa bikin konsep seidealis mungkin, karena orang - orang daya belinya udah tinggi, jadinya udah bisa ngelihat dan ngehargain konsep yang unik, yang 'nyeni', yang aneh, yang nggak common."

"Hmm," lagi - lagi Adam hanya menanggapi dengan gumaman singkat. "Tapi ya sayang, aku tuh penasaran, masa iya mereka ini beneran cuma ngelihat aspek seninya aja ?" Hawa begitu tertarik menuntaskan rasa ingin tahunya.

"Menurut kamu, tinggal di rumah yang miring - miring gitu bakal pusing nggak sih yang ? itu pas ndesain apa nggak mikirin ke arah sana ? belum lagi interior desainernya, pasti pusing sih mesti nata ruangan kayak gimana. Ya kan yang ?" tanya Hawa, menuntut jawaban yang bukan lagi sekedar gumaman.

"Iya, aku juga pusing nih yang. Bawaanku kok nggak muat ya di satu tas ? bantuin dong Wa, kamu dari tadi nanya mulu," keluh Adam, alih - alih melanjutkan diskusi yang dibangun Hawa dari tadi.

Bukannya Adam mengabaikan istrinya dan topik bahasan Arsitektur yang terus ia pelajari sampai sekarang sejak lulus dari UTS, sekalipun ia tidak berkarir secara profesional sebagai Arsitek. Tapi malam ini Adam benar - benar harus tidur lebih awal, sebab besok pagi - pagi sekali ia akan menyetir tiga jam lebih ke Brussels untuk memberikan workshop terkait Information Technology Service Management di sebuah perusahaan jasa pindahan yang sistem TI-nya ia kembangkan bersama tim. Sementara saat ini, sudah hampir pukul sebelas malam, istrinya justru sedang dalam mode mahasiswi arsitektur di antara baju - baju yang belum ia lipat.

"Kamu kenapa nggak jadi arsitek aja sih di sini Dam, kan keren."

"Apasih Wa, kamu kok tiba - tiba bilang gitu. Kenapa ?"

Hawa hanya memamerkan sederet giginya, "Nggak papa, iseng aja bilang gitu."

"Besok hati - hati ya, inget waktu walau kamu antusias dan terpesona sama kubuswoningen. Kalau motretnya udah kelar, better langsung balik rumah aja. Nyampek rumah nggak usah ngerjain ini itu. Mandi terus langsung tidur. Aku nggak mau istriku sakit, paham ya ?"

"Iya, udah apal di luar kepala. Kamu ngulang - ngulang itu sepuluh kali,"

"Kenapa aku kayak gitu ?"

"Karena kamu sayang sama aku. Karena kamu suamiku."

Adam tersenyum mendengar jawaban Hawa. Belasan tahun lalu, Hawa adalah seorang perempuan keras kepala, dan manja yang selalu mendebat tak mau kalah. Tapi sekarang, sosok itu pergi digantikan perempuan mandiri, kuat, sabar, pengertian, dan rela mengalah untuk pergi menemaninya sampai sejauh ini. Meninggalkan semua kenyamanan dan kesempatannya untuk berkarier di Indonesia. "Belum pergi, aku udah kangen aja nih. Gimana kalau kamu nggak usah ambil kerjaan itu, ikut nemenin aku aja yuk ?"

"DAMMMMMMM"

Tawa itu meledak, "Bercanda istriku, aku support kamu kok. Jangan kesel gitu ah, sampai lusa aku nggak bisa peluk kamu nih."

"Semangat," kata Hawa datar.

***

Hawa berkonsentrasi membidik dari celah viewfinder kamera, ke arah pasangan suami istri yang sedang berpelukan dengan latar belakang bangunan kubus - kubus miring, yang melekat satu sama lain, dan didominasi warna kuning juga putihnya salju. Ia menekan shutter beberapa kali, memeriksa sekilas di layar lalu puas dengan hasilnya. "Finally, we are done kak," ujar Hawa sedikit berteriak.

SETARAWhere stories live. Discover now